KESET
KESET! a.k.a Welcome, haha selamat datang, selamat baca-baca, selamat menikmati, selamat komen, selamat kritik, :)
Selasa, 27 Maret 2012
Carut-Marut Birokrasi
Terdengar serius kalau saja anda membaca judul tersebut. Tapi beginilah keluhan seorang warga negara yang menjadi korban birokrasi di negeri
Saya sangat kecewa dengan instansi tempat saya berada saat ini. Saat saya mencoba untuk mengonfirmasi perihal
Senin, 26 Maret 2012
Sepiring Siomay
Cukuplah hari ini begitu melelahkan
bagi ku. Namun sepertinya kota
ini takkan pernah lelah memanjakan penduduknya. Bahkan semakin malam, semakin
meriah saja sambutannya. Maka aku pun memutuskan untuk memanjakan diri dengan kota ini malam ini.
Aku
memilih duduk di sebuah warung siomay kaki lima di emperan taman. Ternyata warung
tersebut penuh dengan penikmat setianya. Maka dengan sabar aku menunggu
pengunjung hingga salah satu dari mereka selesai makan. Dalam penantianku
sempat terlintas dalam benakku apa yang akan terjadi jika para pedagang kaki lima ini tidak
diperbolehkan berjualan? Apa yang akan terjadi dengan istri dan anaknya di
rumah? Lalu bagaimana para penduduk kota
ini mendapatkan sedikit penghiburan di tengah segala macam persoalan yang
menghimpit mereka. Ah… kota !.
Tak
lama seorang pasangan muda-mudi mempersilakanku duduk. Mereka telah selesai
rupanya. Maka akupun langsung duduk menempati kursi tersebut. Aku memesan
sepiring siomay dan segelas teh hangat. Sambil menunggu pesanan ku datang, aku
memperhatikan orang-orang yang berada di hadapanku. Sepertinya mereka adalah
seorang paman dengan dua keponakannya. Mereka terlihat sangat akrab dan saling
menggumamkan lelucon. Sesekali bahkan aku tak bisa menahan senyumku saat
mendengarkan lelucon mereka.
Siomay
pesananku datang. Sebenarnya aku tidak lapar. Maka dari itu, aku makan dengan
sangat perlahan. Lalu perhatianku beralih pada seseorang di warung soto yang
berada di sebelah warung siomay ini. Si bapak ini sedang bercerita mengenai
kehidupannya kepada kedua tukang soto. Tanpa sekat antar warung, maka akupun
dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. “dahulu, ketika tahun ’98 saya
mempunyai sebuah usaha hingga saya benar-benar sukses. Saya mempunyai dua buah
mobil Vios, sebuah BMW, hingga saya punya tiga ekor kuda. Saat itu laba
perusahaan saya hingga bermilyar-milyar. Namun sepuluh tahun kemudian, tepatnya
tahun 2008 saya mengalami kebangkrutan…” ujar si bapak tersebut. Salah satu
tukang soto sangat berminat mendengarkan ceritanya, sedangkan tukang soto yang
lainnya terlihat tidak berminat untuk mendengarkan dan meninggalkan temannya
dan bapak itu melanjutkan ceritanya. Begitupun aku, aku tak berminat
mendengarkan ceritanya karena hal itu terlalu klise bagiku.
Aku
kembali memasukan sesuap siomay ke dalam mulutku. Lalu perhatianku teralih
kepada sebuah keluarga muda yang berada di sebelah kanan ku. Mereka terlihat
harmonis dan hangat. Sepasang orang tua muda dengan kedua anaknya. Si sulung
mungkin baru kelas dua sekolah dasar, dan si bungsu baru memasuki taman
kanak-kanak. Mereka harmonis di tengah para politikus-politikus yang saling
tuduh yang merupakan salah satu kekejaman kota .
Masih
dengan siomay ku yang tinggal separuh, suara si bapak yang berada di tukang
soto kembali menarik perhatianku. “dulu saya tinggal di perumahan elit yang ada
di seberang taman ini. Namun anak saya mempunyai alergi debu hingga harus
dioperasi. Dan saya telah menghabiskan dana hingga 13 juta untuk biaya
operasi…”tutur bapak itu. Si tukang soto nampak makin bergairah mendengar
cerita tersebut. Sedangkan tukang soto lainnya mulai nampak mencibir dari balik
gerobaknya. Dan aku justru tersenyum mendengar mereka. Kejamnya kota . Segala kesulitan
yang ada membuat penduduknya lebih pandai untuk berkhayal. Ketika aku kembali
memasukan siomay ke dalam mulutku ternyata salah seorang keponakan dari paman
yang ada di hadapanku tersenyum melihatku. Aku rasa aku mengerti dengan
senyuman itu. Senyuman untuk semua cerita si bapak yang berada di tukang
siomay.
Lalu aku terus
mengikuti cerita si bapak itu. “salah
satu mertua saya telah meninggal. Beliau adalah seorang habib. Beliau meninggal
ketika sedang memimpin jemaah shalat dzuhur. Beliau wafat dalam keadaan sujud.
Ketika dibangunkan oleh salah satu jamaah, beliau telah tiada...”, ucap si
bapak itu. Si tukang soto semakin terbawa dengan ceritanya. Ia berucap
‘subhanallah..”. Namun entah mengapa sulit bagiku untuk mempercayai cerita
tersebut. Yang terjadi justru senyumku semakin mengembang mendengar cerita
tersebut.
Aku
sampai pada suapan terakhir siomay ku. Pemuda yang ada dihadapanku telah
bersiap meninggalkan mejanya. Ia menulis sesuatu pada selembar tissu dan
memberikannya padaku. Lalu ia segera meninggalkan warung siomay ini. Aku
membaca pesan dalam tissu itu inilah
kekejaman kota
yang sesungguhnya :-) . Maka senyumku pun semakin
melebar.
Minggu, 25 Maret 2012
A-Z
“Salemba…Salemba,
ayo neng, Salemba masih kosong, duduk…duduk…” teriak seorang kenek di terminal
Lebak Bulus. Aku hanya melihat sekilas kearah kenek bis tersebut. Ini sudah
menjadi rutinitasku setiap hari saat pulang sekolah. Aku terlalu lelah untuk
menggubris suara-suara itu. Aku menghempaskan pantatku ke atas kursi bis yang
sebenarnya sudah tidak layak beroperasi. Tapi inilah Jakarta , inilah ibukota yang lebih jahat dari
ibu tiri. Ah, tak sampai hati aku untuk menghabiskan tenagaku hanya untuk mengeluhkan
bobroknya bangsa ini.
Ketimbang
mengeluhkan kondisi bis ini, aku lebih memilih untuk memasangkan headset yang
tersambung dengan telepon selularku ke telinga. Sedikit mencari kenyamanan
untuk diri sendiri karena memang tak akan ada yang memberi. Selain pengap, asap
rokok pun tak kalah meramaikan siang ini. Terganggu? Sudah pasti. Tapi toh aku
sudah bertahan sejauh ini. Hampir tiga tahun aku menjalani rutinitasku seperti
ini. Bagiku, mengeluh setiap hari dan menjalani setiap hari sudah tidak lagi
memiliki batasan yang begitu berarti. Layaknya cinta dan benci. Tak pernah ada
batasan yang jelas mengenai keduanya.
Bis ini masih
terlalu kosong untuk meninggalkan terminal. Sangat kosong bahkan. Aku sengaja
mengambil kursi yang berjejer dua di urutan paling belakang. Hanya ada seorang
pemuda dengan tas besarnya, dua orang mahasiswi yang duduk di kursi paling
depan dan asyik cekikikan, juga aku yang sedang sibuk mengamati mereka. Kelelahan
semakin mendominasi tubuhku. Dan rasa kantuk dengan cepat menggerogotiku. Aku
mulai terlelap dengan iringan musik yang setia bergema di telingaku.
Ketika aku
terbangun, ternyata bis ini sudah mulai penuh sesak. Aku berusaha memejamkan
mataku untuk kembali tidur. Tapi ternyata tak bisa. Suara keluh kesah penumpang
lain silih berganti mengganggu pendengaranku. Aku memilih untuk memejamkan
mataku dan menikmati lagu yang berdendang di headset ku.
“Boss, kalo
ada bocah lain di luar jangan didengerin yah, kalem aja oke!” suara kenek bis yang
mengalihkan perhatianku. Aku menengok kebelakang di mana suara itu berasal. Aku
baru sadar ternyata dia sedang berbicara dengan anak-anak STM ini. Dan aku juga
baru sadar bahwa bis ini penuh sesak oleh anak-anak STM.
“Nyelow boss!”
jawab salah satu orang dari mereka.
“Si Acong mah
boong bang, sekarang aja bilang nyelow, ntar mah pas ketemu pasti perang” sahut
temannya.
“Diem lu kuya!
Bacot banget, kayak lu engga aja” jawab dia yang dipanggil si Acong.
“Udah-udah,
pokonya ente pada kalem aje yee, soalnya kemaren mobilnya Haji Karim kaca depan
sama sampingnya ancur sama bocah-bocah di perempatan deket warung Ngkong Ali”
jelas si kenek bis.
“Siap boss!
Liat aja noh si Baim anteng gitu, haha…dia kan komandannya, kalo dia kalem begitu yang
laen juga ngikut” jawab Kuya.
“Gue lagi pusing
bro, males tempur ah!” timpal si Baim itu.
Aku memutuskan
untuk menghentikan aksi nguping yang
sedari tadi kulakukan. Untung saja di sebelahku duduk seorang mahasiswi,
sehingga aku tidak terlalu berdekatan dengan anak-anak brandal itu. Kenapa aku memilih menjauhi mereka? Ya, tentu saja aku
takut. Bukan karena mereka sering mengganggu wanita. Bukan. Sekali lagi aku
tegaskan bukan karena kejahilan mereka. Aku sudah terlalu biasa untuk
menghadapi kejahilan-kejahilan seperti itu. Bagiku kejahilan itu sudah seperti
angin lalu. Jujur, yang jelas aku takut. Sungguh.
Bis yang
kunaiki pun akhirnya melaju dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung lamban.
Mengambil jalur 3 saat di jalan tol. Dan kembali liar saat di jalan protokol.
Aku masih setia dengan headsetku hingga aku kembali terlelap.
Ketika aku
terbangun, kulihat arloji di tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul 05.00 sore.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sebagian besar penumpang telah turun
meninggalkan bis. Termasuk mahasiswi yang ada di sebelahku. Dan saat ini
anak-anak STM itu ribut mengenai kursi yang kosong di sebelahku ini.
“Si Baim aja
suruh duduk, kasian, udah pucat gitu” kata Acong. Teman-temannya mengiyakan.
Akhirnya lelaki yang bernama Baim itu duduk di sebelahku. Lalu bagaimana
denganku? Jelas aku sangat takut. Sudah kukatakan tadi, aku takut.
Aku coba untuk
menghibur diri. Menenangkan diriku sendiri. Aku kembali nguping pembicaraan anak-anak itu yang aku rasa, satu bis ini dapat
mendengarnya pula.
“Cong, kemaren
kan si Bredel
baru aja ketangkep pas tempur sama bocah LB” cerita salah satu dari mereka.
“Masa’? Bodat
betul. Sering banget dia ketangkep. Waktu lawan bocah DR juga kan ya?” timpal Acong.
“Emang. Mesti
dibintal lagi kayaknya ntu orang. Payah banget” timpal yang lainnya.
“Menurut lu
gimana Im?” tanya Acong pada Baim.
“Lu atur aja
lah. Pusing gue” jawab pemilik nama Baim itu dengan lemah.
Aku melirik
sekilas ke arah si Baim itu. Mukanya pucat. Bulir-bulir keringat pun keluar
dari dahinya. Tapi aku tak berani memandangnya terlalu lama. Kenapa? Sudah
kubilang aku takut.
Pemilik nama
Baim itu sepertinya merasa jika aku sedang mengamatinya. Ralat!
Memperhatikannya. Ia menoleh sekilas ke arahku lalu tersenyum. Bagaimana
denganku? Seharusnya aku tersipu dengan wajah tampannya juga dengan garis aura
kepemimpinan yang melekat pula di wajahnya. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya. Aku takut. Aku semakin kalut dengan ketakutanku.
Aku kembali
dengan headsetku dan membesarkan volumenya. Persetan dengan apa yang dikatakan
orang-orang yang mungkin bisa mendengarkan lagu yang terpasang di headsetku
dengan keras ini. Setidaknya ada sebuah ketenangan yang kudapatkan dari
lagu-lagu ini.
Tiba-tiba
supir bis menginjak rem dengan mendadak. Aku mendengar kegaduhan. Tapi tidak
begitu jelas karena tersaingi dengan sumber suara di headsetku. Aku berusaha
melihat ke luar jendela. Sesuatu menutupiku. Aku tidak bisa melihat apapun.
“Praaaang!...” kudengar jelas suara kaca pecah. Aku yakin pasti tidak jauh
dariku. Pasti!. Atau mungkin kaca di sebelahku. Kucopot headsetku. Aku tidak
bisa melihat apapun. Sesuatu atau lebih tepatnya seseorang menghalangiku untuk
melakukan gerakan. Aku kini berada dalam posisi duduk merunduk. Aku hanya bisa
diam menunggu. Aku bisa mendengar kegaduhan makin menjadi-jadi. Semua orang
berteriak di sana-sini. Aku menangis. Aku menangis dalam kegelapan ini.
Aku berusaha
kembali menguasai diriku. Berusaha menghentikan tangisku. Aku kini bisa
mendengar keadaan di sekitarku lebih
baik. Masih dalam kegelapan ini. Sepertinya keadaan sudah mulai membaik. Tak
ada kegaduhan. Hanya terdengar suara orang-orang yang saling menanyakan keadaan
mereka. Aku makin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sesuatu yang
menutupiku mulai terbuka. “Maaf yaa maaf. Aku tadi panik. Aku takut terjadi
sesuatu sama kamu. Makanya aku tutup kamu pakai jaketku” jawab orang itu. Aku
belum pulih benar dengan penglihatanku. Aku mengerjapkan mata. “Kamu gak pa-pa kan ?” tanya orang itu
kembali.
Penglihatanku
sempurna. Dan orang itu…Baim!. Aku tak menjawab pertanyaanya. “Apa sebenarnya
yang terjadi?” tanyaku. “Tadi ada tawuran” jawabnya singkat menjelaskan
semuanya.
Mendengar hal
itu aku limbung. Aku berpegangan ke bangku bis untuk memperoleh keseimbanganku
kembali. Setelah benar-benar pulih aku memandang Baim. Lalu aku bergegas
meninggalkan bis yang sudah separuh hancur itu. Tak ada sedikit pun ucapan
terima kasih yang terlontar dari mulutku untuknya yang telah menyelamatkanku.
Bukan karena aku tak tahu terima kasih. Sudah kubilang berulang kali, aku
takut. Aku takut dengan anak STM.
Aku berpapasan
dengan Acong saat keluar dari bis.
Mungkin ia masuk untuk mencari Baim. Kami saling berpandangan. Tapi buru-buru
kutarik pandanganku. Sebelum meneruskan langkah, kutengok sekilas kebelakang.
Aku melihat Baim yang sedang duduk limbung di kursi dan Acong yang mungkin
sedang menanyakan keadaanya. Bisa kupastikan tak ada sedikit pun luka pada Baim
ketika tadi aku berbincang dengannya. Namun mengapa Baim terlihat begitu
lemah?.
Acong
menyadari bahwa aku memperhatikan mereka. Ia melihat ke arahku yang masih
terpaku di depan pintu bis. Aku kikuk. Segera ku ambil langkah seribu mencari
angkutan lain yang menuju rumahku. Senja ini begitu melelahkan. Dan sekali
lagi, aku takut.
***
Beberapa hari
setelah senja kelam itu, aku satu bis dengan anak-anak brandal kembali.
Ketakutan kembali menyergapku. Aku melakukan kebiasaanku menyetel headset untuk
menghibur diri. Salah satu dari mereka duduk di sampingku. Ia mencoba
mengajakku mengobrol.
“Kamu yang
kemarin di tolongin Baim ya?” tanyanya.
Aku terperanjat
mendengar nama itu disebut kembali. Kucoba perhatikan orang yang duduk di sebelahku
ini. Acong ternyata. Meskipun begitu tetap saja rasa takut ini muncul ketika
aku berdekatan dengan anak-anak macam mereka.
“Hei, aku ga
salah orang kan ?”
tanyanya kembali.
Sudah kubilang
aku takut. Maka untuk menghindarinya ku keluarkan buku catatan pelajaran
sekolahku.
“Aurora
Umbriell Atthaya” ujarnya.
Dia mengeja
namaku. Ternyata trik menjauhi dengan membaca buku tidak terlalu baik untuk
diterapkan. Sekarang ia malah mengetahui namaku.
“Aurora , atau kupanggil
saja Rara, meskipun aku ga tahu kamu biasa dipanggil apa, aku lihat sepertinya
kamu terlalu takut untuk berhubungan dengan orang-orang sepertiku ini” ia
menghentikan kalimatnya untuk memastikan apakah aku mendengarnya. Dan aku tetap
merunduk, aku masih ditemani dengan ketakutanku.
“Jujur saja,
aku sangat menyadari bahwa banyak orang yang tidak menyukai bedebah macam aku
ini. Dan sebenarnya, aku juga tak pernah ambil pusing untuk masalah ini. Tapi
kali ini, kamu tahu kan
Baim? Dia itu bagian dari kami. Kami memang senang untuk kumpul-kumpul, tapi
kegiatan kami itu positif” lanjutnya.
“Tawuran itu
positif?” potongku terpancing opininya. Hancur sudah semua benteng pertahananku
untuk tak berhubungan dengan bedebah ini.
“Untuk yang
satu itu, memang tawuran itu bukan suatu hal yang positif. Tapi kelompok kami
tak pernah menjadi pemicunya. Ah, sudahlah!. Takkan ada habisnya membahas
masalah tawuran ini. Posisiku dengan kamu berada di dua kutub yang sama-sama
kuat” ujarnya mengakhiri.
Kami diam. Aku
memandang keluar jendela. Jalanan sangat ramai, tapi tak sempat menimbulkan
kemacetan.
“Sebenarnya,
yang aku ingin bicarakan dari tadi itu masalah Baim” ujarnya kembali memecah
keheningan. Dan aku pura-pura tak menghiraukan meski sebenarnya aku penasaran.
“Baim
sebenarnya ingin sekali berteman dengan kamu. Seharusnya dia sendiri yang
bilang ini sama kamu. Tapi, kodisinya ga memungkinkan” ujarnya dengan raut
kesedihan.
“Maksudmu?”
“Baim saat ini
sedang sakit. Sudah dibawa ke dokter, tapi sekarang sudah kembali ke rumah.
Belum jelas penyakit apa yang di deritanya. Ia cerita kepadaku bahwa ia ingin
sekali berteman dengan gadis yang ia tolong saat tawuran itu. Baim tak pernah
mendapat teman. Mungkin yang dilihat orang, Baim punya segudang teman yang
berada di belakangnya. Tetapi sebenarnya ia kesepian. Baim menganggap
teman-temannya kini hanya berteman dengan uangnya, mobilnya, ataupun
ketampanannya. Tapi begitu melihat kamu, Baim bilang dia melihat ketulusan”.
“Oh” hanya
kata itu yang keluar dari mulutku. Aku kaget disertai dengan rasa takut. Acong
tersenyum mendengar tanggapanku yang terdengar sangat bodoh itu.
“Baim hanya
ingin berteman denganmu. Itu saja” ujarnya.
Aku diam. Aku
tak tahu harus berbuat apa. Dari awal sudah kujelaskan, bahwa aku t-a-k-u-t.
Tiba-tiba Acong merampas buku catatan yang kupegang. Ia mengambil pulpen dari
tasnya. Menuliskan sesuatu dengan cepat. Lalu mengembalikannnya lagi kepadaku.
“Aku yakin kamu orang yang baik, sama seperti keyakinan Baim” ujarnya sambil bangun
dari kursi lalu turun dari bis.
***
Sudah hampir
tiga minggu setelah aku bertemu dengan Acong di sore itu. Dan sudah sering pula
aku pulang satu bis dengan anak-anak STM. Tapi tak pernah kulihat Acong
ataupun…Baim. Aku masih duduk sendiri di bis yang setiap hari membawaku
pulang-pergi sekolah. Kubuka kembali buku catatanku yang sempat dituliskan
sesuatu oleh Acong. Entah apa yang mendorongku melakukan hal ini. Yang jelas
aku hanya mengikuti kata hatiku. Kubaca isinya. Sebuah alamat lengkap dengan nomor
telepon selular.
Aku tidak
terlalu yakin, tapi kucoba mengirimkan sms ke nomor tersebut. Ini Aurora. Lalu ku kirim ke nomor yang
tertera. Tak berapa lama pemilik nomor itu meneleponku.
“Halo?”.
“Ini Acong,
Ra. Akhirnya kamu menghubungiku juga. Aku kira kamu benar-benar ga peduli. Tapi
ternyata dugaanku benar kan ?
Kamu orang yang baik. Sekarang kamu pasti masih di bis. Kamu tahu kan alamat yang aku
tuliskan itu? Sekarang kamu sudah sampai mana? Nanti biar aku jemput” ujar
suara di seberang telepon yang tak membiarkanku berbicara sesuatu.
“Aku di
Harmoni” jawabku. Bodoh!. Apa yang baru saja kukatakan?. Memangnya aku mau
kemana?. Aku sendiri tak mengerti maksud pembicaraan Acong.
“Oke, nanti
aku tunggu di perempatan deket rel kereta api” ujarnya kembali. Sambungan
telepon langsung diputus oleh Acong. Bahkan sebelum aku mengajukan interupsi.
***
Aku kini
berada di halaman parkir sebuah rumah makan. Tak berapa lama, Acong terlihat
keluar dari rumah makan tersebut sambil menenteng makanan yang dipesannya. Ia
berjalan ke arahku. “Ayo cepat! Keburu sore” ujarnya. Aku sendiri masih
bingung. Tapi Acong telah lebih dahulu menggiringku menuju mobilnya.
“Sebenarnya
kita mau kemana sih?”
“Kamu tenang
aja. Kamu aman kok. Aku ga akan macem-macem sama kamu. Kamu percaya kan dengan ku?”
Aku hanya diam
menatap Acong. Mencoba mencari kebohongan di matanya yang sayangnya tak
kudapatkan.
“Kamu udah di sini
aja itu berarti kamu udah percaya kalo aku orang yang baik-baik kan ?. Kalo kamu masih
takut, anggaplah aku bukan anak STM. Anak-anak yang dicap brandal oleh
masyarakat. Kan
sekarang aku lagi ga pake seragam” ujarnya dengan nada bercanda.
Aku hanya
tersenyum sopan. Sesuai dengan ajaran ketimuran yang diajarkan ibuku.
“Sebenarnya
ada masalah apa sih kamu sama anak-anak seperti aku?” tanya Acong dengan
penasaran.
Aku
menggeleng. Belum terkumpul semua nyaliku untuk berbicara banyak dengannya.
Dengan orang yang macam aku takuti.
“Ya sudah kalo
kamu ga mau cerita, kita udah sampai. Tolong bawain makanannya yah” minta
Acong.
Kami turun dari
mobil. Setelah melewati pelataran parkir mobil, kami tiba di depan pintu. Aku
menghentikan langkahku.
“Kenapa? Ada yang tertinggal di
mobil?” tanya Acong yang bingung dengan sikapku.
“Kenapa kita
kesini?”.
“Nanti juga
kamu tahu. Udah ayo masuk”.
Aku membuntuti
Acong sepanjang selasar ini. Berbelok ke kanan ketika mencapai ujung selasar
utama, lalu berbelok ke kanan kembali untuk mencapai selasar selanjutnya. Kini
aku berada di depan sebuah pintu bertuliskan Kamar 201.
“Nah, kita
sudah sampai?” ujar Acong.
Aku tetap
mematung. Akupun mulai limbung. Pusing seketika menguasai tubuhku. Pandanganku
kunang-kunang. Perutku terasa mual. Dadaku berdesir kencang. Aku panik. Mungkin
saja wajahku mulai terlihat pucat. Dan mungkin saja bulir-bulir keringat dingin
telah membasahi wajahku. Aku takut. Aku sangat amat takut.
“Hei Ra, kamu
kenapa?” tanya Acong yang mulai panik ketika melihat wajahku pucat seketika.
“A…aku…aku
takut. Sungguh!”
“Apa yang kamu
takuti?” Acong semakin bingung. Aku tak bisa
menceritakan apapun. Aku sungguh takut.
“Kamu harus
jelasin kenapa kita di sini?”.
“Iya, nanti
aku jelasin, tapi kamu masuk dulu yah”.
“Ga bisa kamu
harus jelasin sekarang di sini. Sekarang!”.
“Kamu akan
mendapatkan penjelasan secara gamblang ketika kamu masuk. Ayo masuk dulu.
Makanan yang kamu pegang itu sedang ditunggu-tunggu oleh seseorang” jelas
Acong.
Akhirnya aku
mengalah. Kami pun masuk. Seorang wanita cantik memandang ke arahku ketika
mendengar suara pintu terbuka. Ia melemparkan senyuman. Aku masih dengan
ketakutanku. Namun naluri ketimuranku menyuruhku membalas senyumannya.
“Jadi ini yang
namanya Aurora ?
Cantik!. Lebih cantik dari apa yang tante bayangkan selama ini” ujar wanita
itu.
Ia tahu
namaku? Siapa dia? Aku melirik ke arah Acong. Kurasa ia mengerti kebingunganku.
“Ra, itu
makanannya jangan dipegangin aja, kasih tante dulu itu kasihan udah nungguin
dari tadi” ujar Acong yang makin menambah kebingunganku.
“Oh iya tante.
Maaf, saya lupa” ujarku yang sebenarnya masih dilanda kebingungan.
Wanita itu
hanya melemparkan senyum ramahnya nan cantik jelita. Tapi itu semua tak bisa
mengalihkan perhatianku terhadap selang-selang dan tabung oksigen yang berada
di sudut ruangan. Aku tak kuasa menahan rasa penasaran. Dan kurasa Acong pun
masih tak bersedia menjelaskan semuanya.
“Maaf tante, maaf
sebelumnya jika saya lancang. Tapi sejujurnya saya merasa teramat bingung
dengan situasi ini. Sebenarnya tante ini siapa? Dan mengapa tante bisa
mengenali saya? Siapa pula orang yang berada di atas ranjang itu? Juga untuk
apa saya berada di sini?” tanyaku berturut-turut.
Wanita itu
kembali melemparkan senyum. Aku pasrah. Ralat! Putus asa.
“Maaf ya
cantik, kamu jadi kebingungan seperti ini. Sini duduk dulu, biar tante
jelaskan” ujar wanita itu.
Aku duduk di sebelahnya
untuk mencari sebuah jawaban.
“Jadi, Acong
ini sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri. Ia juga bersahabat dengan
anak tante. Anak tante itu yang sedang berada di atas ranjang itu” wanita itu
menghentikan kalimatnya sesaat.
“Tante bisa
mengenal kamu lewat cerita-cerita yang sempat diceritakan oleh anak tante itu…”
“Anak tante?”
potongku.
“Baim”
Aku tak
merespons apapun ketika nama itu disebut. Ketakutan kembali menguasaiku.
Perutku kembali terasa mual, dadaku berdesir sangat kencang. Aku membatin,
Tuhan, aku ingin segera sampai rumah. Secepatnya.
Acong melihat
ekspresiku itu. Ia merasa khawatir akan perubahan air mukaku.
“Ra, kayaknya
sudah terlalu sore, sebentar lagi malam, aku antar kamu pulang sekarang ya. Ga
baik gadis pulang malam-malam” ujarnya.
“Oh iya benar,
sudah terlalu sore. Kapan-kapan kalau ada waktu kamu main lagi ya ke sini,
tante akan sangat senang jika kamu datang kembali. Hati-hati ya di jalan.
Terimakasih kamu sudah menyempatkan kesini”
“Saya pamit
dulu tante” aku berbasa-basi.
Dengan segera
kutinggalkan kamar itu. Aku segera berjalan kembali menyusuri selasar rumah
sakit. Acong hanya mengekor di belakang. Setibanya di parkiran mobil, Acong
langsung membukakan pintu. Akupun masuk. Tak ada pembicaraan. Hanya suara hati.
“Ada apa sih dengan kamu?”
tanya Acong tiba-tiba.
Aku hanya
melemparkan pandangan bingungku atas pertanyaan Acong. Ragaku atau mungkin
lebih tepatnya jiwaku terasa letih sekali. Acong sepertinya mengerti
keletihanku. Ia kembali fokus pada mobil yang sedang dikemudikannya. Kami sibuk
dengan alam pikiran masing-masing. Jalanan tidak terlalu macet. Mungkin karena
sudah lewat jam pulang kantor. Tiba-tiba mobil yang kunaiki ini berhenti.
“Kenapa?”
tanyaku refleks.
“Kamu belum
makan kan ?
Aku juga. Hehe, kita makan dulu yah. Nanti aku antar sampai ke rumah deh,
janji!” ujar Acong.
Aku hanya
mengangguk tanda setuju. Tubuh ini memang terlanjur lelah untuk hari ini.
***
Beragam
spekulasi semakin berkembang dalam benakku. Ketakutan semakin menghantui setiap
langkahku. Aku terdiam mematung. “Kamu masih ga mau cerita?” suara itu
membuyarkan lamunanku.
“Bukan aku ga
mau. Mungkin aku ga sanggup”
“Kenapa?”
Air mata
terasa hangat mengalir dari pelupuk mata. Untuk yang kesekian kalinya ku
katakan bahwa aku takut. Acong hanya bingung sekaligus kasihan melihatku. “Aku
melihat ketakutan yang besar dari matamu, tapi bagaimana bisa aku membantumu?
Sementara aku sendiri tak tahu apa yang menyebabkan ketakutanmu itu”.
Aku kembali
dapat menguasai diriku. Namun aku tetap bungkam. “Baiklah kalau kamu ga mau cerita. Sekarang
makan dulu, lalu akan segera kuantar pulang. Ketika kamu butuh seseorang untuk
menjadi pendengar dan ketika kamu telah benar-benar siap untuk bercerita, maka
hubungilah aku” jelas Acong.
***
Ini sudah
bulan kedua sejak pertama kali aku bertemu tante Maya. Dan hampir setiap hari
aku tidak pernah absen untuk menemani tante Maya di rumah sakit. Meski
sebenarnya selalu ada Acong yang setiap saat ada di sana . Aku selalu berpikir, wanita selalu
mengerti setiap perasaan wanita lainnya. Entah apa yang menggerakkan hatiku
untuk mengenal lebih dekat keluarga itu. Yang jelas, aku merasa di sana kehadiranku memang
dibutuhkan. Dan aku nyaman dengan hal itu.
“Tante tinggal
ke kantin dulu ya” ujar tante Maya masih di kamar bernomor 201.
“Oke tante”
jawab Acong. Aku hanya mengulum senyum. Perhatianku kembali terpusat kepada
Baim. Sudah dua bulan. Dan tak ada perkembangan yang berarti. Bahkan mungkin
ketika semua peralatan medis yang menempel pada tubuhnya di copot, maka ia akan
pergi meninggalkan tante Maya sendiri.
“Im, kamu ga
bosen apa tidur terus setiap hari? Nanti kamu jadi obesitas loh, ga olahraga
sama sekali, hehe” candaku mencairkan suasana.
Acong melihat
ke arahku. Namun aku berpura-pura tak menyadarinya dan kembali bergurau.
“Baiiim,
banguuun! Aku tuh sebal sama kamu. Aku mau marah-marah sama kamu. Aku sangat
amat mengenal mama kamu. Padahal aku sendiri ga tahu kamu itu siapa” ujarku.
Kulihat Acong.
Ia mengeluarkan airmata. “Tau nih, katanya mau kenalan sama Rara, ini udah gue
bawa orangnya tapi lu malah keenakan tidur. Bangun kebooo!” candanya sambil
menahan tangis.
Ku tepuk
pundak Acong “Sabar ya, terus berdoa”. Acong hanya tersenyum. Kami kembali
membungkam. Acong pun buka suara.
“Ra, kamu
hutang cerita loh sama aku”
“Cerita?
Tentang apa?”
“Ketakutanmu
itu”
“Ooh, emang
aku pernah janji bakal cerita ke kamu?”
“Ya, engga
sih, hehe. Kalo kamu ga mau cerita juga ga apa-apa”
Aku berpikir
sejenak. Lalu aku memutuskan untuk menceritakannya saja. Mungkin sudah saatnya
aku membagikan rasa takut tak beralasanku selama ini kepada orang-orang di sekelilingku.
“Ceritanya panjang looh, kalo di bikin point bisa
dari a sampai z”
“No problem!
Baim juga pasti setuju, ya kan
Im?” tanya Acong melirik ke arah Baim.
Kami berdua
menarik kursi ke dekat Baim. Kami berpikir bahwa Baim akan mendengarnya pula.
“Ketakutanku
ini bermula ketika aku berhadapan dengan anak-anak macam kalian ini di jalan.
Dahulu aku sering banget di jahilin oleh anak-anak model STM atau semacamnya”
“Cuma
gara-gara kayak gitu?” potong Acong.
“Ya engga lah,
singkatnya aku punya seorang kakak cowo. Aku panggil dia abang. Dia seorang kakak yang benar-benar sayang
dengan tulus ke adiknya yang cuma satu-satunya ini. Dan dia seorang anak STM”
“Kalo Abang mu
anak STM kok kamu malah takut sama anak STM?” potong Acong lagi.
“Iih,
kebisasaan deh, dengerin dulu makanya. Jadi dulu abangku itu sering tawuran
kayak kalian juga. Berprinsip sama seperti kalian juga kalau perang, bukan
sebagai pemicu. Dahulu aku pikir abangku itu seorang jagoan. Selalu menang
setiap kali bertengkar. Selalu bisa melindungi aku di manapun. Selalu membelaku
setiap berhadapan dengan siapapun. Bahkan disegani oleh kebanyakan orang.
Mungkin ia sosok yang keras di luar. Tetapi ia tetap bersikap lembut padaku.
Pada adik satu-satunya ini yang terlalu polos dan bodoh untuk menyadari sikap
abangnya yang sebenarnya bertolak belakang dengan norma masyarakat”
“Dahulu,
ketika aku masih sekolah dasar, dan ketika aku bertengkar dengan temanku, aku
pasti cerita ke abangku sambil berurai airmata. Abang selalu membelaku di depan
teman-temanku. Sampai tak ada lagi yang berani menggangguku. Sekalipun abang
mengalami memar di sekujur tubuhnya dan terkena marah oleh ayah dan bunda
karena dianggap sok jagoan, aku masih dengan polosnya menganggap bahwa abang
adalah pahlawanku”
“Aku merasa
bahwa abang adalah milikku. Tak satupun boleh menarik perhatian abangku
melebihi perhatian yang ia berikan kepadaku. Hingga suatu hari, abangku
berencana untuk menemani pacarnya membeli kado untuk mamanya. Di saat yang
sama, aku meminta abangku untuk menemaniku pergi membeli boneka barbie seri
terbaru yang baru saja di rilis. Abangku menolak dengan halus. Seketika itu
juga aku merasa bahwa abangku tak lagi menyangiku. Aku berpikir bahwa duniaku
runtuh saat itu. Karena tak ada lagi orang yang bersedia menyangiku setulus
abangku. Ia tak lagi seperti abangku yang selama ini ku kenal. Abangku yang selalu
memenuhi semua keinginanku mulai dari a sampai z. Dan ketika kini aku mengingat
kembali hal itu, aku merasa sangat amat menyesal”
“Menyesal?
Kenapa?”
“Karena…karena
saat ini ia benar-benar pergi dari kehidupanku. Bahkan sebelum aku sempat
mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya”
“Maksudmu?”
“Ketika abang
menolak menemaniku untuk membeli boneka aku menangis sejadi-jadinya. Aku sangat
amat kecewa. Aku memakinya dengan ucapan-ucapan yang mungkin seharusnya
menyakiti hatinya. Mungkin saat itu kata-kata yang terlontar dari mulutku
terdengar seperti kata-kata orang yang tak tahu terimakasih. Memang. Karena
dahulu aku tak pernah mengerti telah berapa besar pengorbanan abangku untuk
membelaku selama itu”
“Bukannya
marah padaku karena telah kumaki-maki, abang malah membelai lembut rambutku,
memelukku hingga aku tenang dan berhenti menangis. Lalu ia membatalkan acara
pergi dengan pacarnya hanya untuk menemaniku”
“Lalu?”
“Kebodohanku
berlanjut. Awalnya abang hendak mengantarku menggunakan mobil Ayah. Namun aku
merengek minta naik bis karena aku belum pernah naik bis. Abang hanya tertawa
melihat tingkahku. Dan abangku yang baik itu mengabulkan permintaanku. Ia hanya
bergurau Orang-orang tuh maunya di antar
pake mobil pribadi, eh kamu malah pingin naik bis.”
“Aku merasa sangat amat senang saat itu. Kami
naik dari halte terdekat. Saat itu aku tak mengerti bis jurusan mana yang
harusnya ku naiki. Kebodohanku kian menjadi-jadi. Aku ga mau naik mobil bis
yang bagus bertuliskan AC-Ekonomi. Aku hanya mau naik bis bobrok tak layak
pakai. Karena aku pikir di situlah sensasinya. Kalau naik mobil AC sama aja
seperti mobil Ayah-pikirku. Abang semakin geli melihat tingkah adiknya ini ia
mengabulkan kembali kemauan adiknya”.
“Tiba-tiba rem mobil bis berdecit kencang. Aku
terlonjak. Abang berusaha melindungiku. Suara kegaduhan terdengar semakin lama
semakin kencang. Semua orang berteriak-teriak. Aku melihat segerombolan orang
menaiki bis dengan membawa tongkat kayu. Seketika itu juga aku panik. Aku tak
mengerti mengapa mereka melakukan itu. Semua penumpang di perintah untuk turun
dari bis. Abang berusaha melawan orang-orang itu yang membuat aku takut. Mereka
malah memukuli abang. Aku menangis sejadi-jadinya. Abangku melihat kearahku Lari! Cepat lari! Cepat keluar dari bis ini
lalu pergi membeli bonekamu. Abang akan segera
menyusul. Jangan menangis! Tunggu abang di luar bis ini. Cepat lari.”
“Aku menurut. Aku lari keluar bis
sambil menangis. Segera kuhapus airmataku
seperti pinta abang untuk tidak menangis. Aku menunggu dan terus menunggu di
sudut jalan. Tapi abang tak kunjung terlihat. Aku hampir menangis karena
ketakutan. Aku masih setia menunggu dan terus menunggu. Abang tak juga kembali.
Pada akhirnya aku kembali menangis. Aku berlari kecil kembali ke tempat di mana
aku turun bis. Aku mengingkari janji ku pada abang untuk menunggu. Aku sudah
terlanjur takut. Ketika aku mendekati bis, aku melihat kerumunan orang di
pinggir jalan. Aku berlari sekencang mungkin dengan kaki kecilku saat itu. Aku
berusaha menorobos kerumunan orang-orang dewasa itu, dan… dan kulihat…”
“Memangnya kamu lihat apa?” tanya
Acong.
“Kulihat…” Airmata mulai keluar
dari pelupuk mataku. Aku tak bisa
melanjutkan kalimatku untuk menceritakan kepada Acong dan Baim.
“Abangmu?” jawab Acong
Aku hanya mengangguk pelan. Aku menangis. Aku
menghambur ke dalam pelukkan Acong. Acong membelai rambutku dengan halus.
“sudahlah, tidak perlu kamu lanjutkan lagi” ujarnya.
Aku menggeleng keras. Aku tetap ingin melanjutkan
ceritaku hingga benar-benar selesai. “Baiklah kalau kamu memang merasa mampu
untuk menceritakannya” ujar Acong.
“Yang aku lihat adalah tubuh abang yang bersimbah
darah dimana-mana. Lebam dan tidak sadarkan diri. Aku yang cuma seorang bocah
kecil tak mengerti harus berbuat apa. Orang-orang di sekitar saat itu membawa
abang beserta diriku ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, abang
langsung masuk UGD. Kebodohanku kian berlanjut. Ketika seorang suster menghampiriku
dan menanyakan nomor telepon orang tuaku aku hanya bisa menggeleng tak tahu.
Untung saja masih ada kartu identitas dari dompet abangku”
“Sekarang abang mu seharusnya sudah bekerja bukan?
Kerja di mana?” tanya Acong.
“Setelah kejadian itu, abang tidak kunjung sembuh.
Bahkan ia…koma. Ia tak sadarkan diri selama hampir empat bulan. Ayah dan bunda
tak pernah mengizinkan pihak rumah sakit mencabut semua alat-alat yang dapat
memperpanjang hidup abang. Sekalipun ayah dan bunda tahu bahwa tak ada
kemungkinan untuk sembuh, tetapi mereka menginginkan semua berjalan secara
alami. Meskipun untuk hal yang terburuk.”
“Di bulan keempat abang koma, aku membeli boneka yang
saat itu membuatku memaksa abang untuk mengantarku. Aku ke rumah sakit untuk
memamerkan bonekaku. Aku bilang pada abang aku
sudah membeli boneka yang aku inginkan. Seketika itu juga kamar rawat abang
hening. Tak ada lagi suara dari mesin kecil seperti televisi berbunyi. Aku
bingung. Kukira abang sudah sembuh. Aku panggil dokter. Dan yang membuatku bingung
saat itu adalah raut wajah semua orang panik. Dokter dan suster segera
menguasai ranjang abang. Aku menyingkir dan bersandar di pojok ruangan. Bunda
baru saja datang dari kantin dan bingung melihat apa yang terjadi. Dokter
menoleh ke arah bunda dan menggeleng. Seketika itu juga bunda menjerit
memanggil nama abang. Aku masih tak mengerti. Hingga seorang suster mengantarku
melihat abang di ranjangnya. Aku bertanya pada suster itu kenapa sih sus? Dan suster itu menjawab abangmu pergi ke surga.”
“Saat itu, duniaku terasa runtuh.
Benar-benar hancur. Abang benar-benar
pergi meninggalkan keluargaku, meninggalkan aku. Takkan ada lagi sosok yang
akan membelaku sama seperti abang membelaku. Tak akan ada lagi tempat untuk aku
berkeluh kesah semauku seperti ketika abang dengan setia mendengarkan
keluhanku. Bahkan takkan ada lagi yang akan menyanyangi dan mencintaiku dengan
segenap jiwa dan raganya seperti yang abang berikan padaku. Aku kehilangan
orang yang benar-benar penting dalam kehidupanku. Abangku, kakak lelaki
kandungku.”
“Maaf ya, aku ga bermaksud membuatmu sedih kembali”
ujar Acong.
“Sejak kepergian abang, aku benar-benar merasa sangat
amat menyesal dengan semua sikap kepolosanku. Sejak kepergian abang, aku
berusaha menjadi wanita yang mandiri dan dewasa seperti impian abang. Aku
menyesali karena aku tak sempat mengucapkan maaf padanya atas kejadian itu.
Seandainya saja takdir bisa di ubah, aku lebih memilih untuk berda di posisi
abang. Abang orang baik. Dan aku tak sempat berterima kasih kepadanya.”
“Abangmu pasti tahu betapa kamu menghormati
dirinya. Abangmu juga pasti tahu beribu ucapan maaf yang di sampaikanmu
untuknya. Dan aku yakin tak ada penyesalan dari diri abangmu akan semua hal
yang terjadi. Abangmu memberikan alasan
terbaik agar kamu bisa mengenangnya. Hidup terus berjalan. Tak pernah berhenti
sedetikpun. Dan kamu harus melewatinya. Bukan dengan keterpurukkan.” Acong
mencoba menghibur.
“Ya, dan belakangan setelah kepergian abang, aku baru
tahu bahwa yang membuat abang pergi untuk selamanya adalah anak-anak STM yang
mengenali abang sebagai musuh bebuyutannya saat di bis itu. Maka sejak saat itu
aku selalu takut dengan anak STM. Ketika aku bertemu kalian, bayangan peristiwa
mengenaskan itu muncul kembali.”
“Kamu tenang aja, kita akan baik-baik saja kok. Betul kan Im?” tanya Acong
pada tubuh Baim yang masih tetap tak sadarkan diri di ranjang.
Aku tak berkomentar. Lalu kami membungkam. Sibuk
dengan alam pikiran masing-masing. Keheningan menyeruak. Aku merasa ada yang
janggal dari keheningan ini. Benar saja, Acong panik berteriak memanggil
suster. Alat rekam detak jantung Baim tak berfungsi. Aku gemetar. Aku menangis
ketakutan. Acong melihat kearahku, namun ia terlalu panik untuk segera
mengetahui kondisi Baim dan tak menggubris keadaanku. Aku menyingkir ke sofa.
Dokter segera datang. Lalu di susul tante Maya. Tante Maya menangis histeris.
Namun suster melarangnya untuk mendekati putra tunggalnya itu. Aku memeluk
tante Maya. Kami menangis dalam pengharapan. Acong terus berada di samping
ranjang. Sampai tiba saatnya dokter memberitahukan kondisi Baim yang sudah tak
tertolong lagi. Tante Maya melepaskan pelukkanku dan menghambur ke jasad
putranya. Aku semakin menangis. Acong menghampiriku dan memelukku. Berusaha
menenangkankku.
“Ketakutanku… ketakutanku… semua itu… benar terjadi”
isak ku dalam pelukkan Acong.
“Sudahlah, ini semua takdir tuhan. Mungkin Baim memang
menunggu ceritamu. Mungkin selama ini dia bertahan hanya untuk mengetahui
mengapa kamu begitu takut dengannya. Sama seperti ketika abangmu menunggumu hingga
benar-benar membeli boneka yang kamu mau. Ketika semuanya telah terwujud,
mereka―abangmu juga Baim, menganggap bahwa saat itu adalah
saat yang tepat untuk meninggalkanmu. Mereka tenang ketika meninggalkanmu.
Mereka terlalu takut untuk meninggalkanmu dalam keadaan kalut. Mereka sangat
menyangimu. Mereka amat melindungimu. Kamu adalah dunia bagi mereka. Dan aku
juga memiliki rasa yang sama seperti mereka. Kami semua sayang padamu. Jadi, jangan pernah
merasa sendirian di dunia ini.” ujar Acong menenangkanku.
***
Beberapa bulan setelah kepergian Baim, aku masih tetap
berhubungan baik dengan tante Maya. Bahkan kami bertiga―aku, Acong, dan tante Maya sering berlibur bersama.
Kepergian orang-orang yang aku sayangi itu memberi pelajaran yang sangat
berarti buatku. Aku menyadari suatu hal. Ketika semua orang cenderung mengira
dunia akan tamat jika kehidupan kita berakhir. Yang sesungguhnya terjadi adalah
kenalan-kenalan kita, teman-teman kita, dan orang-orang yang kita cintai tetap
melanjutkan kehidupan mereka. Dan melalui mereka pula kita tetap hidup. Ini
bukan tentang penampilan, namun ini bagaimana kita menjalani kehidupan. Dan ini
juga bukan tentang menetapkan kenangan, namun ini tentang memberikan alasan
terbaik bagi orang-orang untuk mengenang diri kita.
Simbolung
Burung
mengaung kalung
Lambung
meraung sarung
Arung
menggantung palung
Bingung,
limbung, terkurung, terpasung
Rampung kacung
lumbung ulung
Lembayung
singgung warung
Untung
mengusung bakung
Bakung
sekarung palung kalung
Pun dipancung!
Burung
mengaung kalung
Senja yang Basah
Dengan malas aku bangun dari kursi tunggu
penumpang. Ini sudah panggilan ketiga dari pengeras
suara yang menyatakan bahwa sesaat lagi pesawat yang akan membawaku ke ujung Indonesia
lepas landas. Aku mencari nomor kursiku di pesawat. Setelah menemukannya, aku
langsung menghempaskan tubuhku di atas kursi pesawat. Untunglah aku mendapat
kursi di sebelah kaca sehingga aku tidak perlu beramah-tamah dengan penumpang
lain yang berada di sebelahku. Saat ini aku memang tidak ingin berbicara
apapun. Karena dengan mengeluarkan suara sedikit saja, air mata yang sedari
tadi aku bendung sekuat tenaga akan mengalir juga. Dan aku tak mau hal itu
terjadi.
Saat pesawat lepas landas aku masih
sibuk dengan pikiranku sendiri. Masih terekam jelas oleh ingatanku bagaimana
pembatalan secara sepihak itu dilontarkan kepadaku. Pernikahan yang telah
menghitung hari hancur berantakkan. Semua merasa malu. Keluargaku, sahabatku,
juga orang-orang terdekatku. Dan aku? Malu, kecewa, sakit hati, kesal, bahkan
marah. Semuanya kurasakan. Pipiku terasa hangat, tak terasa air mata mulai
membasahi pipi. Segera kuhapus agar tidak ada yang melihatku dalam keadaan
terpuruk seperti ini. Aku berada di pesawat ini untuk mencari semangat baru.
Aku memalingkan wajahku ke jendela pesawat. Langit khas senja yang
kemerah-merahan berpose indah di angkasa. Cantik.
Pesawatku transit di Medan. Dan aku
harus melanjutkan perjalanku menuju Bumi Serambi Mekkah. Aku menunggu di ruang
tunggu penumpang, karena terlalu lelah sampai-sampai aku tertidur. Sumber suara
dari pengeras suara membangunkanku dari tidur. Tiba-tiba aku tersadar aku tidur
bersandar pada sesuatu atau lebih tepatnya pada seseorang.
“Kamu terlihat lelah sekali. Maaf
membuatmu terbangun. Tetapi pesawat yang akan aku tumpangi akan segera lepas
landas jadi aku terpaksa membuatmu terbangun” tutur pria itu.
“Maaf-maaf, aku benar-benar minta
maaf. Aku sama sekali gak bermaksud untuk bersandar. Maaf, sekali lagi maaf”
ucapku.
“Gak pa-pa kok, kamu mau kemana?”
tanyanya.
“Aceh” jawabku singkat.
“Berarti kamu satu pesawat denganku.
Ayo berangkat. Satu kata lagi keluar dari mulutku atau mulutmu maka kita akan
ketinggalan pesawat” ujarnya dengan menyunggingkan senyum.
Maka aku membuntutinya hingga masuk
ke dalam pesawat. Ia mencoba membantuku mencari nomor kursiku yang ternyata
bersebelahan dengannya. Mengetahui hal itu aku semakin mematung. Aku takut dia
akan marah padaku soal kejadian di ruang tunggu itu. Aku kembali mendapatkan
sisi jendela pesawat. Maka dengan segera kupalingkan wajahku agar ia tak bisa
berbincang denganku. Perkiraanku meleset. Ternyata dia malah mengajakku
berbicara. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan aku memulai perbincangan
dengannya.
“Oiya, kita belum berkenalan, aku
Andra” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
“Hemm, a…aku Dina. Sekali lagi maaf
yah untuuuk…”
“Udah ah, jangan minta maaf terus!
Kayak lagi lebaran aja” candanya.
Suasana diantara kami mulai mencair.
Beragam cerita mengalir diantara kami. Dari mulai tempat-tempat wisata yang pernah
dikunjungi Andra, karena dia seorang yang senang travelling, sampai cerita
suramku mengenai gagalnya pernikahanku. Namun bedanya kali ini adalah tak ada
tangisan. Sudah habis air mataku untuk menangisi pria brengsek itu. Kini aku
mulai dengan semangat baru, sahabat baru.
“Kamu akan menginap dimana? Mungkin
nanti kita bisa bertemu, kamu harus tahu objek-objek yang gak boleh terlewatkan
ketika kamu berada di Aceh ” kata Andra.
“Hemmm… sebenernya…aku belum tahu
harus kemana. Awalnya aku pikir akan sampai di Aceh sore hari jadi aku bisa
sambil cari-cari penginapan. Tapi gara-gara pesawat tadi delay, jadi…”
“Udah deh, aku ngerti kok. Gini nih
perempuan kalo lari dari masalah. Cuma kabur doang, gak mikirin yang
lain-lainnya. Sekarang gak tau kan
mau kemana? Mana hari sudah gelap” ujar Andra
“Kamu mau ngasih solusi apa engga?
Kalo cuma mau ngasih nasehat yang terdengar seperti omelan itu sih gausah yah
makasih” gerutuku.
“Hey, ngambek nih ceritanya? Hehe,
ya sudah, gini aja, aku punya pondok yang sangat amat sederhana. Ada beberapa kamar. Kalo
untuk memejamkan mata sama merebahkan tubuh doang sih cukup nyaman. Tapi beda
jauh sama hotel berbintang atau bungalow. Kalo kamu mau, kamu bisa bermalam
untuk malam ini, besok pagi baru kamu bisa cari penginapan yang sesuai dengan
keinginan kamu. Gratis kok! hehe” jelas Andra.
“Mauuu… hehe” jawabku.
***
Pagi ini kubiarkan mentari masuk
melalui kisi-kisi jendela kamar dimana aku berdiri saat ini. Tak lama, pintu
kamar diketuk. Seseorang masuk―Andra rupanya. “Sudah bangun? Sarapan dulu yuk! Nanti selesai
sarapan baru kamu bisa cari hotel yang sesuai dengan mu” ajak Andra. Aku hanya
mengangguk. Lalu aku mengekor untuk sampai di meja makan. Sarapan berlangsung
hening. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku ataupun Andra. Kami sibuk
dengan pemikiran masing-masing. Hingga pada akhirnya aku buka suara.
“Pondok ini tidak untuk disewakan
yah?” tanyaku.
“Kenapa? Kamu mau sewa? Haha, gak
usah bayar” jawab Andra dengan bercanda.
“Iih, seriuuus, habisnya sepi
banget. Gak kayak tempat-tempat penginapan lainnya”.
“Engga, ini milik aku pribadi.
Memang bukan untuk disewakan. Lagian kalo disewakan ada aja yang cepet rusak.
Yang inilah, yang itulah, jadi mending dipake untuk pribadi aja”.
“Kamu memang sering liburan ke Aceh
yah?”
“Sebenernya tujuan utamanya bukan
Aceh, tetapi Pulau Weh, pulau yang selama ini dikenal sama kebanyakan orang
dengan nama Pulau Sabang. Aku memang sering bepergian ke berbagai pulau. Tapi
aku sudah terlanjur jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Pulau Weh, hehe.
Makanya aku sering kesini dan mendirikan pondok ini” jelasnya.
Hening kembali menghinggapi kami.
Entah apa yang sedang dipikirkan Andra. Yang jelas saat ini dalam benakku
adalah aku mau kemana? Aku sama sekali tidak mengenal Aceh. Sangat sulit
menemukan buku yang menjelaskan tentang daerah-daerah wisata di Aceh. “Andra,
eem… kamu keberatan gak kalo aku ikut kamu aja. Habisnya Aceh terlalu asing
buatku. Yang aku tau cuma Monumen Kilometer Nol―yang
sebenernya aku gak tahu letak persisnya dimana. Jadi aku butuh tour guide kayak
kamu. Eh, itu juga kalo kamu gak keberatan yah” pintaku.
Andra tampak menimbang sejenak. “Hemm,
sebenernya sih gak pa-pa. Asalkan gak disuruh gendong kamu kemana-mana aku gak
bakal keberatan. Hehe”. Aku merungut, tapi aku senang akhirnya aku punya teman
untuk mengelilingi pulau ini. “Mulai dari mana hari ini?” tanyaku dengan
semangat. “Pokoknya kamu ikut aja. Beresin dulu sarapannya, lalu siap-siap”.
***
Kami menggunakan sebuah VW Combi
yang masih terawat apik. “Ini mobilmu?” tanyaku yang memang penasaran dengan
Combi cantik ini. “Iya, sengaja aku taro di sini, kalo di Medan terlalu ramai. Tak cocok untuk Combi. VW
ini cocoknya untuk bersantai”.
“Oiya, kamu kenapa jalan-jalan
sendirian?” tanyaku.
“Ya, sebenarnya aku memang ada
masalah. Dan setiap ada masalah aku pasti lari ke Sabang. Di sini aku selalu
mendapat ketenangan. Sebuah ketenangan yang diberikan warna kemerahan senja”.
Aku hanya manggut-manggut. Ada
kepedihan yang dalam di mata Andra yang coba ia sembunyikan. Tapi aku menahan
diri untuk mengetahui lebih dalam. Aku sadar aku bukan siapa-siapa yang berhak
tahu urusan pribadi orang yang baru ku kenal.
Suara Andra membuyarkan lamunanku.
“Dina, apa yang membuat kamu akhirnnya memilih Aceh menjadi tempat pelarianmu?”.
“Hemm, apa yah? Sebenernya sih aku cuma pingin pergi sejauh mungkin
dari penderitaan yang aku rasakan. Dan aku pikir karena letak Aceh yang berada
di ujung Indonesia ,
aku berarti sudah pergi jauh dari masalahku”.
“Dan akhirnya kamu mengetahui bahwa pemikiranmu itu salah?” tanya
Andra yang sebenarnya ia tidak butuh jawaban. Ia melanjutkan kalimatnya.
“Masalah itu letaknya cuma ada di sini dan di sini” ia menunjukkan kepala dan
dada dengan telunjuknya. “Sejauh apapun kamu pergi, hati dan pemikiranmu akan
selalu menjadi pembimbingmu juga bayanganmu”.
Aku bungkam. Menyesalinya pun tak berarti. Aku mencoba mengalihkan
pembicaraan. “Jadi kita mau kemana nih?”. “Apa yang kamu tahu tentang Sabang?”
ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan pula.
“Sabang itu terbagi dua wilayah sejak jaman kolonial hingga kini.
Satu wilayah disebut Kota Atas. Yang lainya disebut Kota Bawah. Kota Atas,
seperti namanya, merupakan wilayah untuk kalangan elit Belanda pada masanya.
Mengenai kota Bawah, wilayah tersebut terbagi 3, yakni pondok nelayan
tradisional di sepanjang pantai selatan pelabuhan Sabang, Jalan Utama Pasiran
yang merupakan wilayah perdagangan, serta Kongsi yang tak lain adalah wilayah
pemukiman” jawabku dengan seluruh pengetahuanku.
“Wow, aku berhadapan dengan ahli sejarah rupanya” celetuk Andra. Aku
hanya tersenyum, ya akulah Dinda Farani yang memilih mendalami ilmu sejarah
saat menjadi mahasiswi. Andra kembali melanjutkan kalimatnya “Kamu benar,
percaya atau tidak, Kota Atas dan Kota Bawah masih ada hingga saat ini bahkan
sangat terpelihara. Gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda yang megah masih
terawat rapi di Kota Atas. Ada
yang perlu kamu tahu, Kota Atas menyajikan pemandangan Teluk Sabang yang indah
dan terbentang sampai Pantai Kasih”.
“Jadi kita akan kesana?” tanyaku setelah sadar bahwa Andra ternyata
memberikan teka-teki disetiap pertanyaannya. “Ke Teluk Sabang lebih tepatnya”
jawab Andra sambil tersenyum.
Menyebrang dengan kapal feri sekitar satu jam dari Banda Aceh, aku
bisa menikmati pemandangan Teluk Sabang yang indah. Selain itu, Danau Aneuk
Laut dan panorama-panorama lepas Pulau Sabang juga mengiringi keindahan yang
dihadirkan. Sebuah desa di bawah bukit dan sebuah kapal nelayan yang bergerak
menyusuri garis laut menambah keindahan di Teluk Sabang. Kami memutuskan untuk
menyewa sebuah penginapan, karena kami akan berada di Pulau Sabang untuk
beberapa hari.
Kami puas bermain air di Teluk Sabang. Setelah lelah bermain, aku
merebahkan diriku di atas putihnya pasir pantai. Di sebelahku, Andra ikut
berbaring. Dalam diam seperti ini, bayangan Reno menghantuiku lagi. Ah, pria itu.
Sekalipun ia telah menyakitiku namun ia pernah menjadi bagian dari hidupku. Dan
kenyataan itu yang paling menyakitkan. Sepertinya Andra mengetahui apa yang aku
fikirkan.
“Manusia memang dikendalikan oleh keinginan, kebutuhan, harapan, dan
juga impian. Ketika semua itu lenyap, kita turut lenyap. Kesuksesan atau
kegagalan dalam kehidupan dapat diukur dengan apa yang kita tinggalkan di
belakang dan apa yang kita bawa bersama kita. Ketika kamu terlalu lama hidup
merana, kamu harus dikendalikan oleh satu-satunya hal yang lebih kuat daripada
kematian, adalah cinta” ujar Andra.
“Cinta? Kamu tahu, dahulu aku berpikir bahwa hanya ada satu-satunya
aku di dunia ini. Namun impianku, adalah menjadi satu-satunya dunia bagi
seseorang. Dan ketika impianku itu hancur sekejap…” air mataku mulai bercucuran
satu persatu. Tak ada lagi kalimat yang keluar dari mulutku. Hanya isak tangis
yang semakin kencang. Aku larut dalam kepedihanku―dalam pelukkan
Andra.
Kabut-kabut nakal di pelupuk mata mulai menghilang. Terhapuskan
angin yang masih berbaik hati. Kini kami menikmati senja. Menanti matahari
kembali ke peraduannya. Andra benar, di sini akan selalu mendapat ketenangan.
Sebuah ketenangan yang diberikan warna kemerahan senja.
***
Hari ini kami berniat untuk mengunjungi Gunung Saung Keris.
Pagi-pagi sekali kami berangkat dari tempat penginapan kami di desa Pria Laot.
Di tengah-tengah hutan, tidak terlalu jauh dari desa Pria Laot, mengalir sebuah
sungai yang kemudian berubah menjadi air terjun bertingkat yang menakjubkan.
Sungai itu berhulu di Gunung Saung Keris. Di sana bisa berenang atau menikmati suasana
hutan lindung dengan kupu-kupu yang bertebaran di sekelilingnya, seperti yang
kulakukan saat ini.
“Kamu masih mau berlama-lama di sini?” tanya Andra yang melihatku
sibuk melamun.
“Kamu pernah menikmati senja di tempat ini?” kataku balik bertanya.
Andra hanya menggeleng. “Senja itu milik pantai, milik laut. Dan
gunung adalah milik fajar di pagi hari. Itu sudah kuasa alam Dina, meskipun
akan terlihat fajar di pantai atau senja di tengah hutan seperti ini, tiada
yang dapat menandingi keindahan mereka selain dimana tempat-tempat mereka yang
sesuai dengan hakikatnya”.
“Apa aku boleh menikmati senja di sini?” tanyaku.
Ia tersenyum. “Kamu tahu, ada mitos warga desa ini yang bilang bahwa
akan selalu ada wanita yang menangis kala menikmati senja di tempat ini. Dan
mereka butuh alasan untuk melakukannya, menitikkan air mata ketika cahaya merah
terlihat dari hamparan penuh rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah air terjun di
tengah hutan ini. Dan aku gak akan mau untuk melihat kamu menangis lagi”.
Aku hanya menghela nafas panjang. Sedikit kecewa karena aku ingin
sekali menikmati senja di sini. “Sudahlah Dina, tujuan utama kita hari ini kan sebuah kawah di
Gunung Saung Keris. Kalau kamu benar-benar penasaran, kamu bisa ke sini lain
waktu dengan suasana hati yang lebih baik” saran Andra.
Aku menurut. Kami melanjutkan perjalanan. Kami pergi ke daerah Jaboi
dan belok kiri setelah melewati desa. Lalu kami ikuti jalan tersebut hingga
tidak bisa naik lebih tinggi lagi. Perlu jalan kaki sepanjang 200 meter di
jalan setapak yang mengarah ke kanan. Memang sedikit sulit menemukan jalan
tersebut. “Ikuti saja bau asap belerang dari gunung berapi” celetuk Andra
dengan insting travellingnya.
Kami tiba di kawah Gunung Saung Keris. Gunung Saung Keris merupakan
gunung berapi yang kecil yang jarang dikunjungi karena tidak dikelola sebagai
tempat wisata. Dan karena itu, tempat ini masih terpelihara keindahannya dengan
tidak adanya kerusakan yang biasa ditimbulkan manusia di tempat wisata.
Tak kusadari, aku merasakan kenyamanan lain dari perjalanan beberapa
hari ini. Aku duduk di pinggir kawah, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya
untuk membersihkan seluruh pikiranku. Andra menghampiriku.
“Aku tahu seharusnya rasa ini ku kuburkan dalam-dalam sebelum ia
berkembang dan akhirnya merekah. Tapi apa daya, kebersamaan kita ini membuat
aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku merasakan sesuatu yang tak bisa
kujelaskan. Mungkin sebuah rasa cinta. Aku gak tahu harus bagaimana. Aku tahu
aku salah, Tapi…”, aku langsung menghambur ke dalam pelukkan Andra. Tak
kusangka ia akan mengatakan itu. Aku tahu semua resikonya. Aku sangat amat tahu
apa yang akan terjadi nantinya. Tapi aku juga tak mau menyiksa diriku sendiri.
Karena aku juga merasakan hal yang sama. Cinta adalah satu-satunya kebebasan di
dunia. Karena cinta membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan
gejala-gejala alami pun tak bisa merubah perjalanannya.
***
Aku merasa agak canggung setelah kemarin kami saling mengakui
perasaan kami. Tapi ternyata tidak pada Andra. Ia tetap bersikap seperti
kemarin, bahkan jauh lebih baik.
“Hari ini kamu mau kemana? Biar hari ini aku ikuti kemauan kamu” tanya Andra.
“Seperti yang kamu tahu, di Sabang ini aku cuma tahu
Monumen Kilometer Nol” jawabku sekenanya.
“Oke kita kesana sekarang!”.
Monumen Kilometer Nol terletak di desa Iboih Ujong
Ba’u, sekitar 29 kilometer di sebelah barat kota Sabang dan 5 kilometer dari Iboih.
Monumen ini berdiri di puncak tebing setinggi 22,5
meter yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Monumen ini mempunyai simbol
burung garuda sebagai pertanda bahwa disana merupakan ujung barat Indonesia .
Di sepanjang jalan menuju monumen ini kami disambut dengan monyet-monyet. Aku
merasa istimewa karena setiap pengunjung bisa memperoleh sertifikat dari agen
perjalanan di Sabang sebagai bukti kunjungan ke lokasi geografis ini.
“Hei nona ahli sejarah, tahu gak kalau sekitar 7 kilometer dari
Monumen Kilometer Nol, ada Monumen Kilometer Tujuh?” tanya Andra mengetes
kemampuanku. “Sebelum penelitian geografis yang mutlak dilakukan, monumen tersebut
merupakan Monumen Kilometer Nol. Setelah dipindahkan namanya menjadi Monumen
Kilometer Tujuh” jawabku lancar. “Gak salah deh kalau kamu emang ternyata sang
ahli sejarah, hehe” ledek Andra.
Kami menghabiskan waktu di Monumen Kilometer Tujuh. Berbagai cerita
mengalir begitu saja diantara kami. Mengenai kegiatan kami masing-masing, aku
di Jakarta , dan
Andra di Medan. Menjelang
sore, Andra mengajakku ke suatu tempat. Seperti biasa, dengan berbagai
teka-teki.
“Sebenernya kita mau kemana sih?” tanyaku yang mulai lelah
membuntuti Andra.
“Aku yakin, sebagai seorang ahli sejarah, kamu tentu tahu pembangunan
besar-besaran yang dilakukan di Pulau Weh sekitar tahun 1943-1945?” Andra
mengujiku.
“Hemm, pada tahun tersebut Indonesia sedang dikuasai oleh
Jepang. Dan Jepang sedang mengalami masa-masa sulit karena mereka juga sedang
menghadapi sekutu. Pembangunan saat itu difokuskan pada…seluruh penjuru Pulau
Weh, terutama…di daerah Anoi Itam” aku menghentikan kalimatku untuk mengetahui
apakah Andra masih menyimakku dengan baik, dan ia terlihat manggut-manggut
tanda setuju.
“Kamu sudah tahu tempat yang kumaksud kan ?” tanya Andra coba meyakinkan.
“Sepertinya” jawabku singkat.
Kami tiba di tempat yang dimaksud Andra. Tempat
yang memang sudah aku perkirakan. Akan tetapi saat benar-benar melihatnya, aku
amat takjub. Persis seperti apa yang dituliskan dalam buku-buku sejarah yang
pernah kupelajari.
Benteng Perlindungan Jepang memang tersebar di
seluruh penjuru Pulau Weh sehingga disebut kota Seribu Benteng. Dibangun pada tahun 1943 hingga 1945,
benteng-benteng ini saling dihubungkan dengan terowongan, akan tetapi sekarang
ditutup dengan alasan keamanan. Tetapi di Anoi Itam, masih
bisa kulihat ada benteng yang cukup terawat. Selain itu juga terdapat benteng
besar dengan banyak pintu masuk ke terowongan di Gunung Batu.
“Sudah berhasilkah aku membuatmu takjub dengan segala keindahan
Sabang?” tanya Andra.
“Dari awal aku ketemu kamu, kamu selalu membuat aku takjub. Dan
selalu makin takjub setiap harinya. Dan bodohnya aku adalah, aku baru menyadari
bahwa kamu juga sebenarnya seorang ahli sejarah bukan? Kamu menuntun aku menemukan
jawaban dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban yang
berkaitan dengan sejarah. Pasti kamu lebih ahli dari aku. Hayo ngakuuu!” tuntut
ku.
“Haha, kamu itu, aku memang mengetahui segala
sesuatunya tentang Sabang. Seperti yang aku bilang ke kamu, aku terlanjur jatuh
cinta pada Sabang. Maka aku berusaha mengetahui seluruh detail setiap jengkal
yang dimiliki Sabang. Tapi bukan berarti aku ahli sejarah. Kalo kamu tanya aku
tentang sejarah kota Medan aja, aku pasti kebingungan nyari jawabannya, hehe”
jelas Andra.
Aku sibuk menikmati peninggalan-peninggalan
Jepang itu. Tiba-tiba, sesuatu menarik penglihatanku “Itu bungalow yah? Di
tempat kayak gini?” tanyaku pada Andra. “Kamu gak tahu? Itu bungalow yang
paling terkenal loh, Bungalow flamboyan yang terletak di Lhong Angen. Apa kamu
bisa nebak, dahulu lokasi itu tempat apa?” uji Andra kembali. Aku sedikit ragu,
tapi Lhong Angen, itu berarti “Bekas lokasi kamp Jepang?”.
Andra bertepuk tangan sepuasnya. Setelah itu
dia tersenyum menatapku. Agak risih sebenarnya, apalagi setelah kami mengakui
perasaan kami masing-masing. “Kenapa kamu ngeliat aku kayak gitu?” tanyaku.
“Heran aja, wanita cantik seperti kamu, mempesona, berkharisma, cerdas dan
sukses, kok masih ada yah yang tega menyia-nyiakanmu?”. “Udah deh, gausah
ngomongin itu lagi, kamu mau liat aku nangis-nangis lagi?” ucapku sebal. Andra
tak menjawab, ia hanya mengacak rambutku dengan lembut. Dan aku merasa nyaman.
Jika dunia dapat berhenti berputar, mungkin
inilah saatnya. Saat dimana mata kami saling menatap, membuat semua yang ada di
sekeliling kami seakan berhenti berputar. Alam membungkam. Memberikan
kesempatan kepada kami untuk saling bertukar rahasia, lewat tatapan mata.
***
Ini adalah hari ke empat aku berada di Sabang. Dengan
seseorang yang sebenarnya tidak boleh ku cintai, atau lebih tepatnya tidak
boleh aku miliki. Tapi, biarlah aku menikmati kebahagiaan ini, meski aku tahu
pasti apa yang akan terjadi nantinya. Aku sangat mengerti, maka dari itu aku
membiarkan perasaanku ini berkembang tanpa interupsi.
Hari ini Andra berjanji untuk memberi senja
terindah untukku. Sebelum senja, kami pergi ke Keunakai, yang terletak di dekat
Pantai Pasir Putih. Keunakai merupakan sebuah kolam kecil yang dialiri sumber
air panas yang memungkinkan kita untuk berendam dan melepas lelah. Aku sangat
amat menikmatinya. Perjalanan beberapa hari ini tak bisa membohongi tubuhku
yang mulai merasa letih. Letak Keunakai yang berada jauh di atas permukaan
laut, memungkinkan kami untuk melihat pemandangan Pulau Weh yang memang tak
kalah cantik jika dilihat dari atas.
Sekitar pukul 03.00, kami melanjutkan perjalanan
menuju taman laut Pulau Rubiah. Kami menggunakan kapal feri untuk menyebrang
yang memakan waktu sekitar 30 menit. Selama di kapal feri, kami saling membungkam. Akhirnya aku angkat
bicara. “Besok aku kembali ke Jakarta ”
ujarku datar sambil berusaha menyembunyikan kesedihanku. Andra tak berkomentar apapun. Ia tetap pada
pandangannya. Memandang jauh ke lepas pantai. Aku tak bisa menerka apa yang
sedang dipikirkannya. Bahkan akupun tak tahu apa yang sedang ku pikirkan. Tapi
aku tahu, Andra pasti mendengar ucapanku itu dengan sangat jelas.
Kami tiba di taman laut Pulau Rubiah. Sangat
cantik. Dari atas kapal-kapal kecil milik warga setempat saja, kita bisa
melihat ikan-ikan kecil bermain dengan riang. Bahkan sinar matahari bisa masuk
hingga kedalaman 15 meter.
Menjelang senja, kami menepi ke pantai. Aku sibuk
bermain dengan pasir pantai. Lalu aku menuliskan sebuah kalimat di atas pasir
pantai. Terima kasih Sabang. Aku
tersenyum. Semangatku telah kembali. Bayangan keterpurukanku telah lenyap
ditelan asa ku.
“Sama-sama” tiba-tiba Andra berada di belakangku.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Terima kasih karena kamu bisa mengisi
hari-hariku. Kamu yakin mau pulang besok?”
Aku hanya mengangguk. Sebuah anggukan untuk Andra dan untuk
meyakinkan diriku sendiri.
“Lalu, bagaimana dengan ku? Maksudku, dengan kita?”
“Sudah saatnya ini diakhiri kan Ndra? Sejak awal
kita sama-sama tahu kalau seharusnya rasa ini tak boleh berkembang”
“Iya, tapi toh kita
sudah saling mengakuinya”
“Andra, kamu masih inget kan? Ada yang sedang
menantimu dengan segenap jiwanya disana―di Medan ?”
“Tapi aku hanya mencintai kamu, kamu tahu kan itu?”
“Ya aku tahu, dan aku pun merasakan hal yang sama. Tapi jangan buat
aku berpikiran bahwa kamu sama halnya dengan Reno . Kamu harus menghadapi segala
konsekuensi dari keputusan yang kamu ambil. Begitu juga aku, mencintai
seseorang yang secara jelas telah memiliki seorang tunangan, inilah konsekuensi
yang harus aku hadapi. Dan aku tak pernah menyesalinya”.
“Jadi…”
“Kita kembali ke kehidupan kita masing-masing sebelum semua ini
terjadi. Dan aku tak mengingkari bahwa kamulah yang terbaik yang pernah aku
miliki―meski sesaat. Kembalilah kepadanya. Jangan biarkan ia menangis sama
seperti saat aku menangis”.
“Izinkan aku memelukmu untuk yang terkahir kalinya”
Kami berpelukkan. Dalam pelukan, Andra berucap “mengapa tuhan
mengizinkan dua anak manusia untuk saling mencintai? Jika pada akhirnya hanya
untuk memisahkan mereka?”.
Aku melepaskan pelukannya. “Cinta tidak harus memiliki. Tetapi
sekali kita memiliki cinta, bahagiakanlah ia. Sangat tidak mudah memang, tapi
cinta membuat semua itu bisa terjadi” ujarku.
Dan kini, di bawah gradasi warna merah kekuningan yang tampak
menyala memenuhi langit, aku melepaskannya. Bukan dengan tangisan, tapi dengan
seluruh senyuman.
“Dina?” panggil Andra.
“Ya?”
“Aku hanya ingin mencatat, matamu begitu biru, menyimpan pulau-pulau
dengan laut tak lagi asin, sore menjadi begitu ngilu, mulutku gagu. Tapi harus
kukatakan kini, aku menitip puisi cinta di matamu, yang akan menjadi bibit
hujan, dan sumber cahaya dalam lekam yang membekas” ucap Andra melantunkan
sajaknya.
Aku tersenyum. Seperti inilah kami. Kami menyatu saat laut menjadi
penghalang. Membaur seperti gula dalam air. Atau kopi di atas meja. Begitu saja
cinta kami teraduk. Menjadi pekat tanpa protes. Aku masih setia melihat bintang
itu. Diapun juga. Bintang
kita sama―Di
ujung rindu, dekat sang waktu.
Cerita pendek ini dipersembahkan
untuk: Pemilik langit senja
Terima kasih untuk pengalaman
hidupnya, perkenalan, juga persahabatan singkatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)