KESET

KESET! a.k.a Welcome, haha selamat datang, selamat baca-baca, selamat menikmati, selamat komen, selamat kritik, :)

Selasa, 27 Maret 2012

Carut-Marut Birokrasi

Terdengar serius kalau saja anda membaca judul tersebut. Tapi beginilah keluhan seorang warga negara yang menjadi korban birokrasi di negeri tercinta ini. Sekedar berbagi cerita dan derita, ketika saya mencoba mendaftar untuk masuk di sebuah instansi, saya dengan penuh harapan mengisi semua persyaratannya. Dengan sabar saya menunggu surat panggilan dari instansi tersebut. 1 minggu berlalu, 2, 3, hingga 4 minggu berikutnya berlalu. saya masih tetap mencoba bersabar. Tetapi ternyata selama masa menunggu itu, ayah saya mencoba mencari informasi kepada pihak yang terkait. Hal yang tak terduga ternyata adalah instansi tersebut telah mengirimkan sebuah surat panggilan yang ditujukan kepada saya untuk datang ke tempat mereka. Surat itu mereka alamatkan kepada instansi tempat saya berada saat ini. alangkah kecewanya saya. Beruntung saya mengetahui hal tersebut 4 hari sebelum jadwal saya bertemu wajah dengan instansi yang akan saya masuki.

Saya sangat kecewa dengan instansi tempat saya berada saat ini. Saat saya mencoba untuk mengonfirmasi perihal surat panggilan saya, salah satu pihak menyebutkan tidak menerima surat saya. Ketika saya dengan yang lain―masih di Instansi tempat saya saat ini, mereka bilang ‘ya ada’ tapi mereka tidak mengetahui surat itu untuk apa dan tidak berusaha mencari tahu ataupun berusaha menghubungi saya. Ketika saya tanya dengan kepala instansi saya mengenai hal-hal yang seharusnya beliau lakukan untuk membantu saya memasuki instansi tersebut, beliau menjawab “maaf, saya tidak tahu prosedurnya”.

Yah, lagi-lagi saya harus mengurut dada. Lagi-lagi saya harus berpuas diri dengan kata maaf. Birokrasi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Ketika seseorang dituntut untuk menjadi lebih baik membawa nama instansi, mereka justru dipersulit dengan bobroknya komunikasi yang terjadi di dalam lingkup intern. Ini hanya dalam lingkup kecil, dan hanya terjadi pada saya, juga beberapa teman yang masih satu instansi dengan saya.

Maaf, ini hanya keluhan saya semata. Tetapi ketika mengeluhkan hal ini, sempat terlintas dalam benak saya, bagaimana negara ini dijalankan? Jika pada lingkup kecil saja, banyak orang tidak mampu menjalankan fungsi, tugas, dan kewajibannya masing-masing.

Namun, bagaimanapun bobroknya, tetap saya mencintai negeri ini. Negeri dimana saya, orangtua saya, kakek dan nenek saya, keluarga saya, teman-teman, dan sahabat-sahabat saya berada.

 Tulisan ini bukan hanya bermaksud mengeluh, akan tetapi saya berharap bisa menjadi motivasi bagi saya juga anda yang membaca agar kita bersama-sama membangun negeri ini menjadi negeri yang memang benar-benar patut untuk dicintai.

 

Senin, 26 Maret 2012

Sepiring Siomay

Cukuplah hari ini begitu melelahkan bagi ku. Namun sepertinya kota ini takkan pernah lelah memanjakan penduduknya. Bahkan semakin malam, semakin meriah saja sambutannya. Maka aku pun memutuskan untuk memanjakan diri dengan kota ini malam ini.
    Aku memilih duduk di sebuah warung siomay kaki lima di emperan taman. Ternyata warung tersebut penuh dengan penikmat setianya. Maka dengan sabar aku menunggu pengunjung hingga salah satu dari mereka selesai makan. Dalam penantianku sempat terlintas dalam benakku apa yang akan terjadi jika para pedagang kaki lima ini tidak diperbolehkan berjualan? Apa yang akan terjadi dengan istri dan anaknya di rumah? Lalu bagaimana para penduduk kota ini mendapatkan sedikit penghiburan di tengah segala macam persoalan yang menghimpit mereka. Ah… kota!.
    Tak lama seorang pasangan muda-mudi mempersilakanku duduk. Mereka telah selesai rupanya. Maka akupun langsung duduk menempati kursi tersebut. Aku memesan sepiring siomay dan segelas teh hangat. Sambil menunggu pesanan ku datang, aku memperhatikan orang-orang yang berada di hadapanku. Sepertinya mereka adalah seorang paman dengan dua keponakannya. Mereka terlihat sangat akrab dan saling menggumamkan lelucon. Sesekali bahkan aku tak bisa menahan senyumku saat mendengarkan lelucon mereka.
    Siomay pesananku datang. Sebenarnya aku tidak lapar. Maka dari itu, aku makan dengan sangat perlahan. Lalu perhatianku beralih pada seseorang di warung soto yang berada di sebelah warung siomay ini. Si bapak ini sedang bercerita mengenai kehidupannya kepada kedua tukang soto. Tanpa sekat antar warung, maka akupun dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. “dahulu, ketika tahun ’98 saya mempunyai sebuah usaha hingga saya benar-benar sukses. Saya mempunyai dua buah mobil Vios, sebuah BMW, hingga saya punya tiga ekor kuda. Saat itu laba perusahaan saya hingga bermilyar-milyar. Namun sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2008 saya mengalami kebangkrutan…” ujar si bapak tersebut. Salah satu tukang soto sangat berminat mendengarkan ceritanya, sedangkan tukang soto yang lainnya terlihat tidak berminat untuk mendengarkan dan meninggalkan temannya dan bapak itu melanjutkan ceritanya. Begitupun aku, aku tak berminat mendengarkan ceritanya karena hal itu terlalu klise bagiku.
    Aku kembali memasukan sesuap siomay ke dalam mulutku. Lalu perhatianku teralih kepada sebuah keluarga muda yang berada di sebelah kanan ku. Mereka terlihat harmonis dan hangat. Sepasang orang tua muda dengan kedua anaknya. Si sulung mungkin baru kelas dua sekolah dasar, dan si bungsu baru memasuki taman kanak-kanak. Mereka harmonis di tengah para politikus-politikus yang saling tuduh yang merupakan salah satu kekejaman kota.
    Masih dengan siomay ku yang tinggal separuh, suara si bapak yang berada di tukang soto kembali menarik perhatianku. “dulu saya tinggal di perumahan elit yang ada di seberang taman ini. Namun anak saya mempunyai alergi debu hingga harus dioperasi. Dan saya telah menghabiskan dana hingga 13 juta untuk biaya operasi…”tutur bapak itu. Si tukang soto nampak makin bergairah mendengar cerita tersebut. Sedangkan tukang soto lainnya mulai nampak mencibir dari balik gerobaknya. Dan aku justru tersenyum mendengar mereka. Kejamnya kota. Segala kesulitan yang ada membuat penduduknya lebih pandai untuk berkhayal. Ketika aku kembali memasukan siomay ke dalam mulutku ternyata salah seorang keponakan dari paman yang ada di hadapanku tersenyum melihatku. Aku rasa aku mengerti dengan senyuman itu. Senyuman untuk semua cerita si bapak yang berada di tukang siomay.
     Lalu aku terus mengikuti cerita si bapak itu. “salah satu mertua saya telah meninggal. Beliau adalah seorang habib. Beliau meninggal ketika sedang memimpin jemaah shalat dzuhur. Beliau wafat dalam keadaan sujud. Ketika dibangunkan oleh salah satu jamaah, beliau telah tiada...”, ucap si bapak itu. Si tukang soto semakin terbawa dengan ceritanya. Ia berucap ‘subhanallah..”. Namun entah mengapa sulit bagiku untuk mempercayai cerita tersebut. Yang terjadi justru senyumku semakin mengembang mendengar cerita tersebut.
      Aku sampai pada suapan terakhir siomay ku. Pemuda yang ada dihadapanku telah bersiap meninggalkan mejanya. Ia menulis sesuatu pada selembar tissu dan memberikannya padaku. Lalu ia segera meninggalkan warung siomay ini. Aku membaca pesan dalam tissu itu inilah kekejaman kota yang sesungguhnya :-) . Maka senyumku pun semakin melebar.

Minggu, 25 Maret 2012

A-Z

“Salemba…Salemba, ayo neng, Salemba masih kosong, duduk…duduk…” teriak seorang kenek di terminal Lebak Bulus. Aku hanya melihat sekilas kearah kenek bis tersebut. Ini sudah menjadi rutinitasku setiap hari saat pulang sekolah. Aku terlalu lelah untuk menggubris suara-suara itu. Aku menghempaskan pantatku ke atas kursi bis yang sebenarnya sudah tidak layak beroperasi. Tapi inilah Jakarta, inilah ibukota yang lebih jahat dari ibu tiri. Ah, tak sampai hati aku untuk menghabiskan tenagaku hanya untuk mengeluhkan bobroknya bangsa ini.
Ketimbang mengeluhkan kondisi bis ini, aku lebih memilih untuk memasangkan headset yang tersambung dengan telepon selularku ke telinga. Sedikit mencari kenyamanan untuk diri sendiri karena memang tak akan ada yang memberi. Selain pengap, asap rokok pun tak kalah meramaikan siang ini. Terganggu? Sudah pasti. Tapi toh aku sudah bertahan sejauh ini. Hampir tiga tahun aku menjalani rutinitasku seperti ini. Bagiku, mengeluh setiap hari dan menjalani setiap hari sudah tidak lagi memiliki batasan yang begitu berarti. Layaknya cinta dan benci. Tak pernah ada batasan yang jelas mengenai keduanya.
Bis ini masih terlalu kosong untuk meninggalkan terminal. Sangat kosong bahkan. Aku sengaja mengambil kursi yang berjejer dua di urutan paling belakang. Hanya ada seorang pemuda dengan tas besarnya, dua orang mahasiswi yang duduk di kursi paling depan dan asyik cekikikan, juga aku yang sedang sibuk mengamati mereka. Kelelahan semakin mendominasi tubuhku. Dan rasa kantuk dengan cepat menggerogotiku. Aku mulai terlelap dengan iringan musik yang setia bergema di telingaku.
Ketika aku terbangun, ternyata bis ini sudah mulai penuh sesak. Aku berusaha memejamkan mataku untuk kembali tidur. Tapi ternyata tak bisa. Suara keluh kesah penumpang lain silih berganti mengganggu pendengaranku. Aku memilih untuk memejamkan mataku dan menikmati lagu yang berdendang di headset ku.
“Boss, kalo ada bocah lain di luar jangan didengerin yah, kalem aja oke!” suara kenek bis yang mengalihkan perhatianku. Aku menengok kebelakang di mana suara itu berasal. Aku baru sadar ternyata dia sedang berbicara dengan anak-anak STM ini. Dan aku juga baru sadar bahwa bis ini penuh sesak oleh anak-anak STM.
“Nyelow boss!” jawab salah satu orang dari mereka.
“Si Acong mah boong bang, sekarang aja bilang nyelow, ntar mah pas ketemu pasti perang” sahut temannya.
“Diem lu kuya! Bacot banget, kayak lu engga aja” jawab dia yang dipanggil si Acong.
“Udah-udah, pokonya ente pada kalem aje yee, soalnya kemaren mobilnya Haji Karim kaca depan sama sampingnya ancur sama bocah-bocah di perempatan deket warung Ngkong Ali” jelas si kenek bis.
“Siap boss! Liat aja noh si Baim anteng gitu, haha…dia kan komandannya, kalo dia kalem begitu yang laen juga ngikut” jawab Kuya.
“Gue lagi pusing bro, males tempur ah!” timpal si Baim itu.
Aku memutuskan untuk menghentikan aksi nguping yang sedari tadi kulakukan. Untung saja di sebelahku duduk seorang mahasiswi, sehingga aku tidak terlalu berdekatan dengan anak-anak brandal itu. Kenapa aku memilih menjauhi mereka? Ya, tentu saja aku takut. Bukan karena mereka sering mengganggu wanita. Bukan. Sekali lagi aku tegaskan bukan karena kejahilan mereka. Aku sudah terlalu biasa untuk menghadapi kejahilan-kejahilan seperti itu. Bagiku kejahilan itu sudah seperti angin lalu. Jujur, yang jelas aku takut. Sungguh.
Bis yang kunaiki pun akhirnya melaju dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung lamban. Mengambil jalur 3 saat di jalan tol. Dan kembali liar saat di jalan protokol. Aku masih setia dengan headsetku hingga aku kembali terlelap.
Ketika aku terbangun, kulihat arloji di tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul 05.00 sore. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sebagian besar penumpang telah turun meninggalkan bis. Termasuk mahasiswi yang ada di sebelahku. Dan saat ini anak-anak STM itu ribut mengenai kursi yang kosong di sebelahku ini.
“Si Baim aja suruh duduk, kasian, udah pucat gitu” kata Acong. Teman-temannya mengiyakan. Akhirnya lelaki yang bernama Baim itu duduk di sebelahku. Lalu bagaimana denganku? Jelas aku sangat takut. Sudah kukatakan tadi, aku takut.
Aku coba untuk menghibur diri. Menenangkan diriku sendiri. Aku kembali nguping pembicaraan anak-anak itu yang aku rasa, satu bis ini dapat mendengarnya pula.
“Cong, kemaren kan si Bredel baru aja ketangkep pas tempur sama bocah LB” cerita salah satu dari mereka.
“Masa’? Bodat betul. Sering banget dia ketangkep. Waktu lawan bocah DR juga kan ya?” timpal Acong.
“Emang. Mesti dibintal lagi kayaknya ntu orang. Payah banget” timpal yang lainnya.
“Menurut lu gimana Im?” tanya Acong pada Baim.
“Lu atur aja lah. Pusing gue” jawab pemilik nama Baim itu dengan lemah.
Aku melirik sekilas ke arah si Baim itu. Mukanya pucat. Bulir-bulir keringat pun keluar dari dahinya. Tapi aku tak berani memandangnya terlalu lama. Kenapa? Sudah kubilang aku takut.
Pemilik nama Baim itu sepertinya merasa jika aku sedang mengamatinya. Ralat! Memperhatikannya. Ia menoleh sekilas ke arahku lalu tersenyum. Bagaimana denganku? Seharusnya aku tersipu dengan wajah tampannya juga dengan garis aura kepemimpinan yang melekat pula di wajahnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku takut. Aku semakin kalut dengan ketakutanku.
Aku kembali dengan headsetku dan membesarkan volumenya. Persetan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mungkin bisa mendengarkan lagu yang terpasang di headsetku dengan keras ini. Setidaknya ada sebuah ketenangan yang kudapatkan dari lagu-lagu ini.
Tiba-tiba supir bis menginjak rem dengan mendadak. Aku mendengar kegaduhan. Tapi tidak begitu jelas karena tersaingi dengan sumber suara di headsetku. Aku berusaha melihat ke luar jendela. Sesuatu menutupiku. Aku tidak bisa melihat apapun. “Praaaang!...” kudengar jelas suara kaca pecah. Aku yakin pasti tidak jauh dariku. Pasti!. Atau mungkin kaca di sebelahku. Kucopot headsetku. Aku tidak bisa melihat apapun. Sesuatu atau lebih tepatnya seseorang menghalangiku untuk melakukan gerakan. Aku kini berada dalam posisi duduk merunduk. Aku hanya bisa diam menunggu. Aku bisa mendengar kegaduhan makin menjadi-jadi. Semua orang berteriak di sana-sini. Aku menangis. Aku menangis dalam kegelapan ini.
Aku berusaha kembali menguasai diriku. Berusaha menghentikan tangisku. Aku kini bisa mendengar keadaan di sekitarku  lebih baik. Masih dalam kegelapan ini. Sepertinya keadaan sudah mulai membaik. Tak ada kegaduhan. Hanya terdengar suara orang-orang yang saling menanyakan keadaan mereka. Aku makin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sesuatu yang menutupiku mulai terbuka. “Maaf yaa maaf. Aku tadi panik. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu. Makanya aku tutup kamu pakai jaketku” jawab orang itu. Aku belum pulih benar dengan penglihatanku. Aku mengerjapkan mata. “Kamu gak pa-pa kan?” tanya orang itu kembali.
Penglihatanku sempurna. Dan orang itu…Baim!. Aku tak menjawab pertanyaanya. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanyaku. “Tadi ada tawuran” jawabnya singkat menjelaskan semuanya.
Mendengar hal itu aku limbung. Aku berpegangan ke bangku bis untuk memperoleh keseimbanganku kembali. Setelah benar-benar pulih aku memandang Baim. Lalu aku bergegas meninggalkan bis yang sudah separuh hancur itu. Tak ada sedikit pun ucapan terima kasih yang terlontar dari mulutku untuknya yang telah menyelamatkanku. Bukan karena aku tak tahu terima kasih. Sudah kubilang berulang kali, aku takut. Aku takut dengan anak STM.
Aku berpapasan dengan Acong saat keluar dari  bis. Mungkin ia masuk untuk mencari Baim. Kami saling berpandangan. Tapi buru-buru kutarik pandanganku. Sebelum meneruskan langkah, kutengok sekilas kebelakang. Aku melihat Baim yang sedang duduk limbung di kursi dan Acong yang mungkin sedang menanyakan keadaanya. Bisa kupastikan tak ada sedikit pun luka pada Baim ketika tadi aku berbincang dengannya. Namun mengapa Baim terlihat begitu lemah?.
Acong menyadari bahwa aku memperhatikan mereka. Ia melihat ke arahku yang masih terpaku di depan pintu bis. Aku kikuk. Segera ku ambil langkah seribu mencari angkutan lain yang menuju rumahku. Senja ini begitu melelahkan. Dan sekali lagi, aku takut.
***
Beberapa hari setelah senja kelam itu, aku satu bis dengan anak-anak brandal kembali. Ketakutan kembali menyergapku. Aku melakukan kebiasaanku menyetel headset untuk menghibur diri. Salah satu dari mereka duduk di sampingku. Ia mencoba mengajakku mengobrol.
“Kamu yang kemarin di tolongin Baim ya?” tanyanya.
Aku terperanjat mendengar nama itu disebut kembali. Kucoba perhatikan orang yang duduk di sebelahku ini. Acong ternyata. Meskipun begitu tetap saja rasa takut ini muncul ketika aku berdekatan dengan anak-anak macam mereka.
“Hei, aku ga salah orang kan?” tanyanya kembali.
Sudah kubilang aku takut. Maka untuk menghindarinya ku keluarkan buku catatan pelajaran sekolahku.
“Aurora Umbriell Atthaya” ujarnya.
Dia mengeja namaku. Ternyata trik menjauhi dengan membaca buku tidak terlalu baik untuk diterapkan. Sekarang ia malah mengetahui namaku.
Aurora, atau kupanggil saja Rara, meskipun aku ga tahu kamu biasa dipanggil apa, aku lihat sepertinya kamu terlalu takut untuk berhubungan dengan orang-orang sepertiku ini” ia menghentikan kalimatnya untuk memastikan apakah aku mendengarnya. Dan aku tetap merunduk, aku masih ditemani dengan ketakutanku.
“Jujur saja, aku sangat menyadari bahwa banyak orang yang tidak menyukai bedebah macam aku ini. Dan sebenarnya, aku juga tak pernah ambil pusing untuk masalah ini. Tapi kali ini, kamu tahu kan Baim? Dia itu bagian dari kami. Kami memang senang untuk kumpul-kumpul, tapi kegiatan kami itu positif” lanjutnya.
“Tawuran itu positif?” potongku terpancing opininya. Hancur sudah semua benteng pertahananku untuk tak berhubungan dengan bedebah ini.
“Untuk yang satu itu, memang tawuran itu bukan suatu hal yang positif. Tapi kelompok kami tak pernah menjadi pemicunya. Ah, sudahlah!. Takkan ada habisnya membahas masalah tawuran ini. Posisiku dengan kamu berada di dua kutub yang sama-sama kuat” ujarnya mengakhiri.
Kami diam. Aku memandang keluar jendela. Jalanan sangat ramai, tapi tak sempat menimbulkan kemacetan.
“Sebenarnya, yang aku ingin bicarakan dari tadi itu masalah Baim” ujarnya kembali memecah keheningan. Dan aku pura-pura tak menghiraukan meski sebenarnya aku penasaran.
“Baim sebenarnya ingin sekali berteman dengan kamu. Seharusnya dia sendiri yang bilang ini sama kamu. Tapi, kodisinya ga memungkinkan” ujarnya dengan raut kesedihan.
“Maksudmu?”
“Baim saat ini sedang sakit. Sudah dibawa ke dokter, tapi sekarang sudah kembali ke rumah. Belum jelas penyakit apa yang di deritanya. Ia cerita kepadaku bahwa ia ingin sekali berteman dengan gadis yang ia tolong saat tawuran itu. Baim tak pernah mendapat teman. Mungkin yang dilihat orang, Baim punya segudang teman yang berada di belakangnya. Tetapi sebenarnya ia kesepian. Baim menganggap teman-temannya kini hanya berteman dengan uangnya, mobilnya, ataupun ketampanannya. Tapi begitu melihat kamu, Baim bilang dia melihat ketulusan”.
“Oh” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku kaget disertai dengan rasa takut. Acong tersenyum mendengar tanggapanku yang terdengar sangat bodoh itu.
“Baim hanya ingin berteman denganmu. Itu saja” ujarnya.
Aku diam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dari awal sudah kujelaskan, bahwa aku t-a-k-u-t. Tiba-tiba Acong merampas buku catatan yang kupegang. Ia mengambil pulpen dari tasnya. Menuliskan sesuatu dengan cepat. Lalu mengembalikannnya lagi kepadaku. “Aku yakin kamu orang yang baik, sama seperti keyakinan Baim” ujarnya sambil bangun dari kursi lalu turun dari bis.
***
Sudah hampir tiga minggu setelah aku bertemu dengan Acong di sore itu. Dan sudah sering pula aku pulang satu bis dengan anak-anak STM. Tapi tak pernah kulihat Acong ataupun…Baim. Aku masih duduk sendiri di bis yang setiap hari membawaku pulang-pergi sekolah. Kubuka kembali buku catatanku yang sempat dituliskan sesuatu oleh Acong. Entah apa yang mendorongku melakukan hal ini. Yang jelas aku hanya mengikuti kata hatiku. Kubaca isinya. Sebuah alamat lengkap dengan nomor telepon selular.
Aku tidak terlalu yakin, tapi kucoba mengirimkan sms ke nomor tersebut. Ini Aurora. Lalu ku kirim ke nomor yang tertera. Tak berapa lama pemilik nomor itu meneleponku.
“Halo?”.
“Ini Acong, Ra. Akhirnya kamu menghubungiku juga. Aku kira kamu benar-benar ga peduli. Tapi ternyata dugaanku benar kan? Kamu orang yang baik. Sekarang kamu pasti masih di bis. Kamu tahu kan alamat yang aku tuliskan itu? Sekarang kamu sudah sampai mana? Nanti biar aku jemput” ujar suara di seberang telepon yang tak membiarkanku berbicara sesuatu.
“Aku di Harmoni” jawabku. Bodoh!. Apa yang baru saja kukatakan?. Memangnya aku mau kemana?. Aku sendiri tak mengerti maksud pembicaraan Acong.
“Oke, nanti aku tunggu di perempatan deket rel kereta api” ujarnya kembali. Sambungan telepon langsung diputus oleh Acong. Bahkan sebelum aku mengajukan interupsi.
***
Aku kini berada di halaman parkir sebuah rumah makan. Tak berapa lama, Acong terlihat keluar dari rumah makan tersebut sambil menenteng makanan yang dipesannya. Ia berjalan ke arahku. “Ayo cepat! Keburu sore” ujarnya. Aku sendiri masih bingung. Tapi Acong telah lebih dahulu menggiringku menuju mobilnya.
“Sebenarnya kita mau kemana sih?”
“Kamu tenang aja. Kamu aman kok. Aku ga akan macem-macem sama kamu. Kamu percaya kan dengan ku?”
Aku hanya diam menatap Acong. Mencoba mencari kebohongan di matanya yang sayangnya tak kudapatkan.
“Kamu udah di sini aja itu berarti kamu udah percaya kalo aku orang yang baik-baik kan?. Kalo kamu masih takut, anggaplah aku bukan anak STM. Anak-anak yang dicap brandal oleh masyarakat. Kan sekarang aku lagi ga pake seragam” ujarnya dengan nada bercanda.
Aku hanya tersenyum sopan. Sesuai dengan ajaran ketimuran yang diajarkan ibuku.
“Sebenarnya ada masalah apa sih kamu sama anak-anak seperti aku?” tanya Acong dengan penasaran.
Aku menggeleng. Belum terkumpul semua nyaliku untuk berbicara banyak dengannya. Dengan orang yang macam aku takuti.
“Ya sudah kalo kamu ga mau cerita, kita udah sampai. Tolong bawain makanannya yah” minta Acong.
Kami turun dari mobil. Setelah melewati pelataran parkir mobil, kami tiba di depan pintu. Aku menghentikan langkahku.
“Kenapa? Ada yang tertinggal di mobil?” tanya Acong yang bingung dengan sikapku.
“Kenapa kita kesini?”.
“Nanti juga kamu tahu. Udah ayo masuk”.
Aku membuntuti Acong sepanjang selasar ini. Berbelok ke kanan ketika mencapai ujung selasar utama, lalu berbelok ke kanan kembali untuk mencapai selasar selanjutnya. Kini aku berada di depan sebuah pintu bertuliskan Kamar 201.
“Nah, kita sudah sampai?” ujar Acong.
Aku tetap mematung. Akupun mulai limbung. Pusing seketika menguasai tubuhku. Pandanganku kunang-kunang. Perutku terasa mual. Dadaku berdesir kencang. Aku panik. Mungkin saja wajahku mulai terlihat pucat. Dan mungkin saja bulir-bulir keringat dingin telah membasahi wajahku. Aku takut. Aku sangat amat takut.
“Hei Ra, kamu kenapa?” tanya Acong yang mulai panik ketika melihat wajahku pucat seketika.
“A…aku…aku takut. Sungguh!”
“Apa yang kamu takuti?” Acong semakin bingung. Aku tak bisa  menceritakan apapun. Aku sungguh takut.
“Kamu harus jelasin kenapa kita di sini?”.
“Iya, nanti aku jelasin, tapi kamu masuk dulu yah”.
“Ga bisa kamu harus jelasin sekarang di sini. Sekarang!”.
“Kamu akan mendapatkan penjelasan secara gamblang ketika kamu masuk. Ayo masuk dulu. Makanan yang kamu pegang itu sedang ditunggu-tunggu oleh seseorang” jelas Acong.
Akhirnya aku mengalah. Kami pun masuk. Seorang wanita cantik memandang ke arahku ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia melemparkan senyuman. Aku masih dengan ketakutanku. Namun naluri ketimuranku menyuruhku membalas senyumannya.
“Jadi ini yang namanya Aurora? Cantik!. Lebih cantik dari apa yang tante bayangkan selama ini” ujar wanita itu.
Ia tahu namaku? Siapa dia? Aku melirik ke arah Acong. Kurasa ia mengerti kebingunganku.
“Ra, itu makanannya jangan dipegangin aja, kasih tante dulu itu kasihan udah nungguin dari tadi” ujar Acong yang makin menambah kebingunganku.
“Oh iya tante. Maaf, saya lupa” ujarku yang sebenarnya masih dilanda kebingungan.
Wanita itu hanya melemparkan senyum ramahnya nan cantik jelita. Tapi itu semua tak bisa mengalihkan perhatianku terhadap selang-selang dan tabung oksigen yang berada di sudut ruangan. Aku tak kuasa menahan rasa penasaran. Dan kurasa Acong pun masih tak bersedia menjelaskan semuanya.
“Maaf tante, maaf sebelumnya jika saya lancang. Tapi sejujurnya saya merasa teramat bingung dengan situasi ini. Sebenarnya tante ini siapa? Dan mengapa tante bisa mengenali saya? Siapa pula orang yang berada di atas ranjang itu? Juga untuk apa saya berada di sini?” tanyaku berturut-turut.
Wanita itu kembali melemparkan senyum. Aku pasrah. Ralat! Putus asa.
“Maaf ya cantik, kamu jadi kebingungan seperti ini. Sini duduk dulu, biar tante jelaskan” ujar wanita itu.
Aku duduk di sebelahnya untuk mencari sebuah jawaban.
“Jadi, Acong ini sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri. Ia juga bersahabat dengan anak tante. Anak tante itu yang sedang berada di atas ranjang itu” wanita itu menghentikan kalimatnya sesaat.
“Tante bisa mengenal kamu lewat cerita-cerita yang sempat diceritakan oleh anak tante itu…”
“Anak tante?” potongku.
“Baim”
Aku tak merespons apapun ketika nama itu disebut. Ketakutan kembali menguasaiku. Perutku kembali terasa mual, dadaku berdesir sangat kencang. Aku membatin, Tuhan, aku ingin segera sampai rumah. Secepatnya.
Acong melihat ekspresiku itu. Ia merasa khawatir akan perubahan air mukaku.
“Ra, kayaknya sudah terlalu sore, sebentar lagi malam, aku antar kamu pulang sekarang ya. Ga baik gadis pulang malam-malam” ujarnya.
“Oh iya benar, sudah terlalu sore. Kapan-kapan kalau ada waktu kamu main lagi ya ke sini, tante akan sangat senang jika kamu datang kembali. Hati-hati ya di jalan. Terimakasih kamu sudah menyempatkan kesini”
“Saya pamit dulu tante” aku berbasa-basi.
Dengan segera kutinggalkan kamar itu. Aku segera berjalan kembali menyusuri selasar rumah sakit. Acong hanya mengekor di belakang. Setibanya di parkiran mobil, Acong langsung membukakan pintu. Akupun masuk. Tak ada pembicaraan. Hanya suara hati.
Ada apa sih dengan kamu?” tanya Acong tiba-tiba.
Aku hanya melemparkan pandangan bingungku atas pertanyaan Acong. Ragaku atau mungkin lebih tepatnya jiwaku terasa letih sekali. Acong sepertinya mengerti keletihanku. Ia kembali fokus pada mobil yang sedang dikemudikannya. Kami sibuk dengan alam pikiran masing-masing. Jalanan tidak terlalu macet. Mungkin karena sudah lewat jam pulang kantor. Tiba-tiba mobil yang kunaiki ini berhenti.
“Kenapa?” tanyaku refleks.
“Kamu belum makan kan? Aku juga. Hehe, kita makan dulu yah. Nanti aku antar sampai ke rumah deh, janji!” ujar Acong.
Aku hanya mengangguk tanda setuju. Tubuh ini memang terlanjur lelah untuk hari ini.
***
Beragam spekulasi semakin berkembang dalam benakku. Ketakutan semakin menghantui setiap langkahku. Aku terdiam mematung. “Kamu masih ga mau cerita?” suara itu membuyarkan lamunanku.
“Bukan aku ga mau. Mungkin aku ga sanggup”
“Kenapa?”
Air mata terasa hangat mengalir dari pelupuk mata. Untuk yang kesekian kalinya ku katakan bahwa aku takut. Acong hanya bingung sekaligus kasihan melihatku. “Aku melihat ketakutan yang besar dari matamu, tapi bagaimana bisa aku membantumu? Sementara aku sendiri tak tahu apa yang menyebabkan ketakutanmu itu”.
Aku kembali dapat menguasai diriku. Namun aku tetap bungkam. “Baiklah kalau kamu ga mau cerita. Sekarang makan dulu, lalu akan segera kuantar pulang. Ketika kamu butuh seseorang untuk menjadi pendengar dan ketika kamu telah benar-benar siap untuk bercerita, maka hubungilah aku” jelas Acong.
***
Ini sudah bulan kedua sejak pertama kali aku bertemu tante Maya. Dan hampir setiap hari aku tidak pernah absen untuk menemani tante Maya di rumah sakit. Meski sebenarnya selalu ada Acong yang setiap saat ada di sana. Aku selalu berpikir, wanita selalu mengerti setiap perasaan wanita lainnya. Entah apa yang menggerakkan hatiku untuk mengenal lebih dekat keluarga itu. Yang jelas, aku merasa di sana kehadiranku memang dibutuhkan. Dan aku nyaman dengan hal itu.
“Tante tinggal ke kantin dulu ya” ujar tante Maya masih di kamar bernomor 201.
“Oke tante” jawab Acong. Aku hanya mengulum senyum. Perhatianku kembali terpusat kepada Baim. Sudah dua bulan. Dan tak ada perkembangan yang berarti. Bahkan mungkin ketika semua peralatan medis yang menempel pada tubuhnya di copot, maka ia akan pergi meninggalkan tante Maya sendiri.
“Im, kamu ga bosen apa tidur terus setiap hari? Nanti kamu jadi obesitas loh, ga olahraga sama sekali, hehe” candaku mencairkan suasana.
Acong melihat ke arahku. Namun aku berpura-pura tak menyadarinya dan kembali bergurau.
“Baiiim, banguuun! Aku tuh sebal sama kamu. Aku mau marah-marah sama kamu. Aku sangat amat mengenal mama kamu. Padahal aku sendiri ga tahu kamu itu siapa” ujarku.
Kulihat Acong. Ia mengeluarkan airmata. “Tau nih, katanya mau kenalan sama Rara, ini udah gue bawa orangnya tapi lu malah keenakan tidur. Bangun kebooo!” candanya sambil menahan tangis.
Ku tepuk pundak Acong “Sabar ya, terus berdoa”. Acong hanya tersenyum. Kami kembali membungkam. Acong pun buka suara.
“Ra, kamu hutang cerita loh sama aku”
“Cerita? Tentang apa?”
“Ketakutanmu itu”
“Ooh, emang aku pernah janji bakal cerita ke kamu?”
“Ya, engga sih, hehe. Kalo kamu ga mau cerita juga ga apa-apa”
Aku berpikir sejenak. Lalu aku memutuskan untuk menceritakannya saja. Mungkin sudah saatnya aku membagikan rasa takut tak beralasanku selama ini kepada orang-orang di sekelilingku.
“Ceritanya panjang looh, kalo di bikin point bisa dari a sampai z”
“No problem! Baim juga pasti setuju, ya kan Im?” tanya Acong melirik ke arah Baim.
Kami berdua menarik kursi ke dekat Baim. Kami berpikir bahwa Baim akan mendengarnya pula.
“Ketakutanku ini bermula ketika aku berhadapan dengan anak-anak macam kalian ini di jalan. Dahulu aku sering banget di jahilin oleh anak-anak model STM atau semacamnya”
“Cuma gara-gara kayak gitu?” potong Acong.
“Ya engga lah, singkatnya aku punya seorang kakak cowo. Aku panggil dia abang.  Dia seorang kakak yang benar-benar sayang dengan tulus ke adiknya yang cuma satu-satunya ini. Dan dia seorang anak STM”
“Kalo Abang mu anak STM kok kamu malah takut sama anak STM?” potong Acong lagi.
“Iih, kebisasaan deh, dengerin dulu makanya. Jadi dulu abangku itu sering tawuran kayak kalian juga. Berprinsip sama seperti kalian juga kalau perang, bukan sebagai pemicu. Dahulu aku pikir abangku itu seorang jagoan. Selalu menang setiap kali bertengkar. Selalu bisa melindungi aku di manapun. Selalu membelaku setiap berhadapan dengan siapapun. Bahkan disegani oleh kebanyakan orang. Mungkin ia sosok yang keras di luar. Tetapi ia tetap bersikap lembut padaku. Pada adik satu-satunya ini yang terlalu polos dan bodoh untuk menyadari sikap abangnya yang sebenarnya bertolak belakang dengan norma masyarakat”
“Dahulu, ketika aku masih sekolah dasar, dan ketika aku bertengkar dengan temanku, aku pasti cerita ke abangku sambil berurai airmata. Abang selalu membelaku di depan teman-temanku. Sampai tak ada lagi yang berani menggangguku. Sekalipun abang mengalami memar di sekujur tubuhnya dan terkena marah oleh ayah dan bunda karena dianggap sok jagoan, aku masih dengan polosnya menganggap bahwa abang adalah pahlawanku”
“Aku merasa bahwa abang adalah milikku. Tak satupun boleh menarik perhatian abangku melebihi perhatian yang ia berikan kepadaku. Hingga suatu hari, abangku berencana untuk menemani pacarnya membeli kado untuk mamanya. Di saat yang sama, aku meminta abangku untuk menemaniku pergi membeli boneka barbie seri terbaru yang baru saja di rilis. Abangku menolak dengan halus. Seketika itu juga aku merasa bahwa abangku tak lagi menyangiku. Aku berpikir bahwa duniaku runtuh saat itu. Karena tak ada lagi orang yang bersedia menyangiku setulus abangku. Ia tak lagi seperti abangku yang selama ini ku kenal. Abangku yang selalu memenuhi semua keinginanku mulai dari a sampai z. Dan ketika kini aku mengingat kembali hal itu, aku merasa sangat amat menyesal”
“Menyesal? Kenapa?”
“Karena…karena saat ini ia benar-benar pergi dari kehidupanku. Bahkan sebelum aku sempat mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya”
“Maksudmu?”
“Ketika abang menolak menemaniku untuk membeli boneka aku menangis sejadi-jadinya. Aku sangat amat kecewa. Aku memakinya dengan ucapan-ucapan yang mungkin seharusnya menyakiti hatinya. Mungkin saat itu kata-kata yang terlontar dari mulutku terdengar seperti kata-kata orang yang tak tahu terimakasih. Memang. Karena dahulu aku tak pernah mengerti telah berapa besar pengorbanan abangku untuk membelaku selama itu”
“Bukannya marah padaku karena telah kumaki-maki, abang malah membelai lembut rambutku, memelukku hingga aku tenang dan berhenti menangis. Lalu ia membatalkan acara pergi dengan pacarnya hanya untuk menemaniku”
“Lalu?”
“Kebodohanku berlanjut. Awalnya abang hendak mengantarku menggunakan mobil Ayah. Namun aku merengek minta naik bis karena aku belum pernah naik bis. Abang hanya tertawa melihat tingkahku. Dan abangku yang baik itu mengabulkan permintaanku. Ia hanya bergurau Orang-orang tuh maunya di antar pake mobil pribadi, eh kamu malah pingin naik bis.”
“Aku merasa sangat amat senang saat itu. Kami naik dari halte terdekat. Saat itu aku tak mengerti bis jurusan mana yang harusnya ku naiki. Kebodohanku kian menjadi-jadi. Aku ga mau naik mobil bis yang bagus bertuliskan AC-Ekonomi. Aku hanya mau naik bis bobrok tak layak pakai. Karena aku pikir di situlah sensasinya. Kalau naik mobil AC sama aja seperti mobil Ayah-pikirku. Abang semakin geli melihat tingkah adiknya ini ia mengabulkan kembali kemauan adiknya”.
“Tiba-tiba rem mobil bis berdecit kencang. Aku terlonjak. Abang berusaha melindungiku. Suara kegaduhan terdengar semakin lama semakin kencang. Semua orang berteriak-teriak. Aku melihat segerombolan orang menaiki bis dengan membawa tongkat kayu. Seketika itu juga aku panik. Aku tak mengerti mengapa mereka melakukan itu. Semua penumpang di perintah untuk turun dari bis. Abang berusaha melawan orang-orang itu yang membuat aku takut. Mereka malah memukuli abang. Aku menangis sejadi-jadinya. Abangku melihat kearahku Lari! Cepat lari! Cepat keluar dari bis ini lalu pergi membeli bonekamu. Abang akan segera menyusul. Jangan menangis! Tunggu abang di luar bis ini. Cepat lari.”
“Aku menurut. Aku lari keluar bis sambil menangis. Segera kuhapus airmataku seperti pinta abang untuk tidak menangis. Aku menunggu dan terus menunggu di sudut jalan. Tapi abang tak kunjung terlihat. Aku hampir menangis karena ketakutan. Aku masih setia menunggu dan terus menunggu. Abang tak juga kembali. Pada akhirnya aku kembali menangis. Aku berlari kecil kembali ke tempat di mana aku turun bis. Aku mengingkari janji ku pada abang untuk menunggu. Aku sudah terlanjur takut. Ketika aku mendekati bis, aku melihat kerumunan orang di pinggir jalan. Aku berlari sekencang mungkin dengan kaki kecilku saat itu. Aku berusaha menorobos kerumunan orang-orang dewasa itu, dan… dan kulihat…”
“Memangnya kamu lihat apa?” tanya Acong.
“Kulihat…” Airmata mulai keluar dari pelupuk mataku. Aku tak bisa melanjutkan kalimatku untuk menceritakan kepada Acong dan Baim.
“Abangmu?” jawab Acong
Aku hanya mengangguk pelan. Aku menangis. Aku menghambur ke dalam pelukkan Acong. Acong membelai rambutku dengan halus. “sudahlah, tidak perlu kamu lanjutkan lagi” ujarnya.
Aku menggeleng keras. Aku tetap ingin melanjutkan ceritaku hingga benar-benar selesai. “Baiklah kalau kamu memang merasa mampu untuk menceritakannya” ujar Acong.
“Yang aku lihat adalah tubuh abang yang bersimbah darah dimana-mana. Lebam dan tidak sadarkan diri. Aku yang cuma seorang bocah kecil tak mengerti harus berbuat apa. Orang-orang di sekitar saat itu membawa abang beserta diriku ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, abang langsung masuk UGD. Kebodohanku kian berlanjut. Ketika seorang suster menghampiriku dan menanyakan nomor telepon orang tuaku aku hanya bisa menggeleng tak tahu. Untung saja masih ada kartu identitas dari dompet abangku”
“Sekarang abang mu seharusnya sudah bekerja bukan? Kerja di mana?” tanya Acong.
“Setelah kejadian itu, abang tidak kunjung sembuh. Bahkan ia…koma. Ia tak sadarkan diri selama hampir empat bulan. Ayah dan bunda tak pernah mengizinkan pihak rumah sakit mencabut semua alat-alat yang dapat memperpanjang hidup abang. Sekalipun ayah dan bunda tahu bahwa tak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi mereka menginginkan semua berjalan secara alami. Meskipun untuk hal yang terburuk.”
“Di bulan keempat abang koma, aku membeli boneka yang saat itu membuatku memaksa abang untuk mengantarku. Aku ke rumah sakit untuk memamerkan bonekaku. Aku bilang pada abang aku sudah membeli boneka yang aku inginkan. Seketika itu juga kamar rawat abang hening. Tak ada lagi suara dari mesin kecil seperti televisi berbunyi. Aku bingung. Kukira abang sudah sembuh. Aku panggil dokter. Dan yang membuatku bingung saat itu adalah raut wajah semua orang panik. Dokter dan suster segera menguasai ranjang abang. Aku menyingkir dan bersandar di pojok ruangan. Bunda baru saja datang dari kantin dan bingung melihat apa yang terjadi. Dokter menoleh ke arah bunda dan menggeleng. Seketika itu juga bunda menjerit memanggil nama abang. Aku masih tak mengerti. Hingga seorang suster mengantarku melihat abang di ranjangnya. Aku bertanya pada suster itu kenapa sih sus? Dan suster itu menjawab abangmu pergi ke surga.”
“Saat itu, duniaku terasa runtuh. Benar-benar hancur. Abang benar-benar pergi meninggalkan keluargaku, meninggalkan aku. Takkan ada lagi sosok yang akan membelaku sama seperti abang membelaku. Tak akan ada lagi tempat untuk aku berkeluh kesah semauku seperti ketika abang dengan setia mendengarkan keluhanku. Bahkan takkan ada lagi yang akan menyanyangi dan mencintaiku dengan segenap jiwa dan raganya seperti yang abang berikan padaku. Aku kehilangan orang yang benar-benar penting dalam kehidupanku. Abangku, kakak lelaki kandungku.”
“Maaf ya, aku ga bermaksud membuatmu sedih kembali” ujar Acong.
“Sejak kepergian abang, aku benar-benar merasa sangat amat menyesal dengan semua sikap kepolosanku. Sejak kepergian abang, aku berusaha menjadi wanita yang mandiri dan dewasa seperti impian abang. Aku menyesali karena aku tak sempat mengucapkan maaf padanya atas kejadian itu. Seandainya saja takdir bisa di ubah, aku lebih memilih untuk berda di posisi abang. Abang orang baik. Dan aku tak sempat berterima kasih kepadanya.”
“Abangmu pasti tahu betapa kamu menghormati dirinya. Abangmu juga pasti tahu beribu ucapan maaf yang di sampaikanmu untuknya. Dan aku yakin tak ada penyesalan dari diri abangmu akan semua hal yang terjadi. Abangmu memberikan alasan terbaik agar kamu bisa mengenangnya. Hidup terus berjalan. Tak pernah berhenti sedetikpun. Dan kamu harus melewatinya. Bukan dengan keterpurukkan.” Acong mencoba menghibur.
“Ya, dan belakangan setelah kepergian abang, aku baru tahu bahwa yang membuat abang pergi untuk selamanya adalah anak-anak STM yang mengenali abang sebagai musuh bebuyutannya saat di bis itu. Maka sejak saat itu aku selalu takut dengan anak STM. Ketika aku bertemu kalian, bayangan peristiwa mengenaskan itu muncul  kembali.”
“Kamu tenang aja, kita akan baik-baik saja kok. Betul kan Im?” tanya Acong pada tubuh Baim yang masih tetap tak sadarkan diri di ranjang.
Aku tak berkomentar. Lalu kami membungkam. Sibuk dengan alam pikiran masing-masing. Keheningan menyeruak. Aku merasa ada yang janggal dari keheningan ini. Benar saja, Acong panik berteriak memanggil suster. Alat rekam detak jantung Baim tak berfungsi. Aku gemetar. Aku menangis ketakutan. Acong melihat kearahku, namun ia terlalu panik untuk segera mengetahui kondisi Baim dan tak menggubris keadaanku. Aku menyingkir ke sofa. Dokter segera datang. Lalu di susul tante Maya. Tante Maya menangis histeris. Namun suster melarangnya untuk mendekati putra tunggalnya itu. Aku memeluk tante Maya. Kami menangis dalam pengharapan. Acong terus berada di samping ranjang. Sampai tiba saatnya dokter memberitahukan kondisi Baim yang sudah tak tertolong lagi. Tante Maya melepaskan pelukkanku dan menghambur ke jasad putranya. Aku semakin menangis. Acong menghampiriku dan memelukku. Berusaha menenangkankku.
“Ketakutanku… ketakutanku… semua itu… benar terjadi” isak ku dalam pelukkan Acong.
“Sudahlah, ini semua takdir tuhan. Mungkin Baim memang menunggu ceritamu. Mungkin selama ini dia bertahan hanya untuk mengetahui mengapa kamu begitu takut dengannya. Sama seperti ketika abangmu menunggumu hingga benar-benar membeli boneka yang kamu mau. Ketika semuanya telah terwujud, merekaabangmu juga Baim, menganggap bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk meninggalkanmu. Mereka tenang ketika meninggalkanmu. Mereka terlalu takut untuk meninggalkanmu dalam keadaan kalut. Mereka sangat menyangimu. Mereka amat melindungimu. Kamu adalah dunia bagi mereka. Dan aku juga memiliki rasa yang sama seperti mereka. Kami semua sayang padamu. Jadi, jangan pernah merasa sendirian di dunia ini.” ujar Acong menenangkanku.
***
Beberapa bulan setelah kepergian Baim, aku masih tetap berhubungan baik dengan tante Maya. Bahkan kami bertigaaku, Acong, dan tante Maya sering berlibur bersama. Kepergian orang-orang yang aku sayangi itu memberi pelajaran yang sangat berarti buatku. Aku menyadari suatu hal. Ketika semua orang cenderung mengira dunia akan tamat jika kehidupan kita berakhir. Yang sesungguhnya terjadi adalah kenalan-kenalan kita, teman-teman kita, dan orang-orang yang kita cintai tetap melanjutkan kehidupan mereka. Dan melalui mereka pula kita tetap hidup. Ini bukan tentang penampilan, namun ini bagaimana kita menjalani kehidupan. Dan ini juga bukan tentang menetapkan kenangan, namun ini tentang memberikan alasan terbaik bagi orang-orang untuk mengenang diri kita.

Simbolung


Burung mengaung kalung
Lambung meraung sarung
Arung menggantung palung
Bingung, limbung, terkurung, terpasung
Rampung kacung lumbung ulung
Lembayung singgung warung
Untung mengusung bakung
Bakung sekarung palung kalung
Pun dipancung!
Burung mengaung kalung

Senja yang Basah

Dengan malas aku bangun dari kursi tunggu penumpang. Ini sudah panggilan ketiga dari pengeras suara yang menyatakan bahwa sesaat lagi pesawat yang akan membawaku ke ujung Indonesia lepas landas. Aku mencari nomor kursiku di pesawat. Setelah menemukannya, aku langsung menghempaskan tubuhku di atas kursi pesawat. Untunglah aku mendapat kursi di sebelah kaca sehingga aku tidak perlu beramah-tamah dengan penumpang lain yang berada di sebelahku. Saat ini aku memang tidak ingin berbicara apapun. Karena dengan mengeluarkan suara sedikit saja, air mata yang sedari tadi aku bendung sekuat tenaga akan mengalir juga. Dan aku tak mau hal itu terjadi.
            Saat pesawat lepas landas aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Masih terekam jelas oleh ingatanku bagaimana pembatalan secara sepihak itu dilontarkan kepadaku. Pernikahan yang telah menghitung hari hancur berantakkan. Semua merasa malu. Keluargaku, sahabatku, juga orang-orang terdekatku. Dan aku? Malu, kecewa, sakit hati, kesal, bahkan marah. Semuanya kurasakan. Pipiku terasa hangat, tak terasa air mata mulai membasahi pipi. Segera kuhapus agar tidak ada yang melihatku dalam keadaan terpuruk seperti ini. Aku berada di pesawat ini untuk mencari semangat baru. Aku memalingkan wajahku ke jendela pesawat. Langit khas senja yang kemerah-merahan berpose indah di angkasa. Cantik.
            Pesawatku transit di Medan. Dan aku harus melanjutkan perjalanku menuju Bumi Serambi Mekkah. Aku menunggu di ruang tunggu penumpang, karena terlalu lelah sampai-sampai aku tertidur. Sumber suara dari pengeras suara membangunkanku dari tidur. Tiba-tiba aku tersadar aku tidur bersandar pada sesuatu atau lebih tepatnya pada seseorang.
            “Kamu terlihat lelah sekali. Maaf membuatmu terbangun. Tetapi pesawat yang akan aku tumpangi akan segera lepas landas jadi aku terpaksa membuatmu terbangun” tutur pria itu.
            “Maaf-maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku sama sekali gak bermaksud untuk bersandar. Maaf, sekali lagi maaf” ucapku.
            “Gak pa-pa kok, kamu mau kemana?” tanyanya.
            “Aceh” jawabku singkat.
            “Berarti kamu satu pesawat denganku. Ayo berangkat. Satu kata lagi keluar dari mulutku atau mulutmu maka kita akan ketinggalan pesawat” ujarnya dengan menyunggingkan senyum.
            Maka aku membuntutinya hingga masuk ke dalam pesawat. Ia mencoba membantuku mencari nomor kursiku yang ternyata bersebelahan dengannya. Mengetahui hal itu aku semakin mematung. Aku takut dia akan marah padaku soal kejadian di ruang tunggu itu. Aku kembali mendapatkan sisi jendela pesawat. Maka dengan segera kupalingkan wajahku agar ia tak bisa berbincang denganku. Perkiraanku meleset. Ternyata dia malah mengajakku berbicara. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan aku memulai perbincangan dengannya.
            “Oiya, kita belum berkenalan, aku Andra” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
            “Hemm, a…aku Dina. Sekali lagi maaf yah untuuuk…”
            “Udah ah, jangan minta maaf terus! Kayak lagi lebaran aja” candanya.
            Suasana diantara kami mulai mencair. Beragam cerita mengalir diantara kami. Dari mulai tempat-tempat wisata yang pernah dikunjungi Andra, karena dia seorang yang senang travelling, sampai cerita suramku mengenai gagalnya pernikahanku. Namun bedanya kali ini adalah tak ada tangisan. Sudah habis air mataku untuk menangisi pria brengsek itu. Kini aku mulai dengan semangat baru, sahabat baru.
            “Kamu akan menginap dimana? Mungkin nanti kita bisa bertemu, kamu harus tahu objek-objek yang gak boleh terlewatkan ketika kamu berada di Aceh ” kata Andra.
            “Hemmm… sebenernya…aku belum tahu harus kemana. Awalnya aku pikir akan sampai di Aceh sore hari jadi aku bisa sambil cari-cari penginapan. Tapi gara-gara pesawat tadi delay, jadi…”
            “Udah deh, aku ngerti kok. Gini nih perempuan kalo lari dari masalah. Cuma kabur doang, gak mikirin yang lain-lainnya. Sekarang gak tau kan mau kemana? Mana hari sudah gelap” ujar Andra
            “Kamu mau ngasih solusi apa engga? Kalo cuma mau ngasih nasehat yang terdengar seperti omelan itu sih gausah yah makasih” gerutuku.
            “Hey, ngambek nih ceritanya? Hehe, ya sudah, gini aja, aku punya pondok yang sangat amat sederhana. Ada beberapa kamar. Kalo untuk memejamkan mata sama merebahkan tubuh doang sih cukup nyaman. Tapi beda jauh sama hotel berbintang atau bungalow. Kalo kamu mau, kamu bisa bermalam untuk malam ini, besok pagi baru kamu bisa cari penginapan yang sesuai dengan keinginan kamu. Gratis kok! hehe” jelas Andra.
            “Mauuu… hehe” jawabku.
***
            Pagi ini kubiarkan mentari masuk melalui kisi-kisi jendela kamar dimana aku berdiri saat ini. Tak lama, pintu kamar diketuk. Seseorang masukAndra rupanya. “Sudah bangun? Sarapan dulu yuk! Nanti selesai sarapan baru kamu bisa cari hotel yang sesuai dengan mu” ajak Andra. Aku hanya mengangguk. Lalu aku mengekor untuk sampai di meja makan. Sarapan berlangsung hening. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku ataupun Andra. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hingga pada akhirnya aku buka suara.
            “Pondok ini tidak untuk disewakan yah?” tanyaku.
            “Kenapa? Kamu mau sewa? Haha, gak usah bayar” jawab Andra dengan bercanda.
            “Iih, seriuuus, habisnya sepi banget. Gak kayak tempat-tempat penginapan lainnya”.
            “Engga, ini milik aku pribadi. Memang bukan untuk disewakan. Lagian kalo disewakan ada aja yang cepet rusak. Yang inilah, yang itulah, jadi mending dipake untuk pribadi aja”.
            “Kamu memang sering liburan ke Aceh yah?”
            “Sebenernya tujuan utamanya bukan Aceh, tetapi Pulau Weh, pulau yang selama ini dikenal sama kebanyakan orang dengan nama Pulau Sabang. Aku memang sering bepergian ke berbagai pulau. Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Pulau Weh, hehe. Makanya aku sering kesini dan mendirikan pondok ini” jelasnya.
            Hening kembali menghinggapi kami. Entah apa yang sedang dipikirkan Andra. Yang jelas saat ini dalam benakku adalah aku mau kemana? Aku sama sekali tidak mengenal Aceh. Sangat sulit menemukan buku yang menjelaskan tentang daerah-daerah wisata di Aceh. “Andra, eem… kamu keberatan gak kalo aku ikut kamu aja. Habisnya Aceh terlalu asing buatku. Yang aku tau cuma Monumen Kilometer Nolyang sebenernya aku gak tahu letak persisnya dimana. Jadi aku butuh tour guide kayak kamu. Eh, itu juga kalo kamu gak keberatan yah” pintaku.
            Andra tampak menimbang sejenak. “Hemm, sebenernya sih gak pa-pa. Asalkan gak disuruh gendong kamu kemana-mana aku gak bakal keberatan. Hehe”. Aku merungut, tapi aku senang akhirnya aku punya teman untuk mengelilingi pulau ini. “Mulai dari mana hari ini?” tanyaku dengan semangat. “Pokoknya kamu ikut aja. Beresin dulu sarapannya, lalu siap-siap”.
***
            Kami menggunakan sebuah VW Combi yang masih terawat apik. “Ini mobilmu?” tanyaku yang memang penasaran dengan Combi cantik ini. “Iya, sengaja aku taro di sini, kalo di Medan terlalu ramai. Tak cocok untuk Combi. VW ini cocoknya untuk bersantai”.
            “Oiya, kamu kenapa jalan-jalan sendirian?” tanyaku.
            “Ya, sebenarnya aku memang ada masalah. Dan setiap ada masalah aku pasti lari ke Sabang. Di sini aku selalu mendapat ketenangan. Sebuah ketenangan yang diberikan warna kemerahan senja”. Aku hanya manggut-manggut. Ada kepedihan yang dalam di mata Andra yang coba ia sembunyikan. Tapi aku menahan diri untuk mengetahui lebih dalam. Aku sadar aku bukan siapa-siapa yang berhak tahu urusan pribadi orang yang baru ku kenal.
            Suara Andra membuyarkan lamunanku. “Dina, apa yang membuat kamu akhirnnya memilih Aceh menjadi tempat pelarianmu?”.
“Hemm, apa yah? Sebenernya sih aku cuma pingin pergi sejauh mungkin dari penderitaan yang aku rasakan. Dan aku pikir karena letak Aceh yang berada di ujung Indonesia, aku berarti sudah pergi jauh dari masalahku”.
“Dan akhirnya kamu mengetahui bahwa pemikiranmu itu salah?” tanya Andra yang sebenarnya ia tidak butuh jawaban. Ia melanjutkan kalimatnya. “Masalah itu letaknya cuma ada di sini dan di sini” ia menunjukkan kepala dan dada dengan telunjuknya. “Sejauh apapun kamu pergi, hati dan pemikiranmu akan selalu menjadi pembimbingmu juga bayanganmu”.
Aku bungkam. Menyesalinya pun tak berarti. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Jadi kita mau kemana nih?”. “Apa yang kamu tahu tentang Sabang?” ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan pula.
“Sabang itu terbagi dua wilayah sejak jaman kolonial hingga kini. Satu wilayah disebut Kota Atas. Yang lainya disebut Kota Bawah. Kota Atas, seperti namanya, merupakan wilayah untuk kalangan elit Belanda pada masanya. Mengenai kota Bawah, wilayah tersebut terbagi 3, yakni pondok nelayan tradisional di sepanjang pantai selatan pelabuhan Sabang, Jalan Utama Pasiran yang merupakan wilayah perdagangan, serta Kongsi yang tak lain adalah wilayah pemukiman” jawabku dengan seluruh pengetahuanku.
“Wow, aku berhadapan dengan ahli sejarah rupanya” celetuk Andra. Aku hanya tersenyum, ya akulah Dinda Farani yang memilih mendalami ilmu sejarah saat menjadi mahasiswi. Andra kembali melanjutkan kalimatnya “Kamu benar, percaya atau tidak, Kota Atas dan Kota Bawah masih ada hingga saat ini bahkan sangat terpelihara. Gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda yang megah masih terawat rapi di Kota Atas. Ada yang perlu kamu tahu, Kota Atas menyajikan pemandangan Teluk Sabang yang indah dan terbentang sampai Pantai Kasih”.
“Jadi kita akan kesana?” tanyaku setelah sadar bahwa Andra ternyata memberikan teka-teki disetiap pertanyaannya. “Ke Teluk Sabang lebih tepatnya” jawab Andra sambil tersenyum.
Menyebrang dengan kapal feri sekitar satu jam dari Banda Aceh, aku bisa menikmati pemandangan Teluk Sabang yang indah. Selain itu, Danau Aneuk Laut dan panorama-panorama lepas Pulau Sabang juga mengiringi keindahan yang dihadirkan. Sebuah desa di bawah bukit dan sebuah kapal nelayan yang bergerak menyusuri garis laut menambah keindahan di Teluk Sabang. Kami memutuskan untuk menyewa sebuah penginapan, karena kami akan berada di Pulau Sabang untuk beberapa hari.
Kami puas bermain air di Teluk Sabang. Setelah lelah bermain, aku merebahkan diriku di atas putihnya pasir pantai. Di sebelahku, Andra ikut berbaring. Dalam diam seperti ini, bayangan Reno menghantuiku lagi. Ah, pria itu. Sekalipun ia telah menyakitiku namun ia pernah menjadi bagian dari hidupku. Dan kenyataan itu yang paling menyakitkan. Sepertinya Andra mengetahui apa yang aku fikirkan.
“Manusia memang dikendalikan oleh keinginan, kebutuhan, harapan, dan juga impian. Ketika semua itu lenyap, kita turut lenyap. Kesuksesan atau kegagalan dalam kehidupan dapat diukur dengan apa yang kita tinggalkan di belakang dan apa yang kita bawa bersama kita. Ketika kamu terlalu lama hidup merana, kamu harus dikendalikan oleh satu-satunya hal yang lebih kuat daripada kematian, adalah cinta” ujar Andra.
“Cinta? Kamu tahu, dahulu aku berpikir bahwa hanya ada satu-satunya aku di dunia ini. Namun impianku, adalah menjadi satu-satunya dunia bagi seseorang. Dan ketika impianku itu hancur sekejap…” air mataku mulai bercucuran satu persatu. Tak ada lagi kalimat yang keluar dari mulutku. Hanya isak tangis yang semakin kencang. Aku larut dalam kepedihankudalam pelukkan Andra.
Kabut-kabut nakal di pelupuk mata mulai menghilang. Terhapuskan angin yang masih berbaik hati. Kini kami menikmati senja. Menanti matahari kembali ke peraduannya. Andra benar, di sini akan selalu mendapat ketenangan. Sebuah ketenangan yang diberikan warna kemerahan senja.
***
Hari ini kami berniat untuk mengunjungi Gunung Saung Keris. Pagi-pagi sekali kami berangkat dari tempat penginapan kami di desa Pria Laot. Di tengah-tengah hutan, tidak terlalu jauh dari desa Pria Laot, mengalir sebuah sungai yang kemudian berubah menjadi air terjun bertingkat yang menakjubkan. Sungai itu berhulu di Gunung Saung Keris. Di sana bisa berenang atau menikmati suasana hutan lindung dengan kupu-kupu yang bertebaran di sekelilingnya, seperti yang kulakukan saat ini.
“Kamu masih mau berlama-lama di sini?” tanya Andra yang melihatku sibuk melamun.
“Kamu pernah menikmati senja di tempat ini?” kataku balik bertanya.
Andra hanya menggeleng. “Senja itu milik pantai, milik laut. Dan gunung adalah milik fajar di pagi hari. Itu sudah kuasa alam Dina, meskipun akan terlihat fajar di pantai atau senja di tengah hutan seperti ini, tiada yang dapat menandingi keindahan mereka selain dimana tempat-tempat mereka yang sesuai dengan hakikatnya”.
“Apa aku boleh menikmati senja di sini?” tanyaku.
Ia tersenyum. “Kamu tahu, ada mitos warga desa ini yang bilang bahwa akan selalu ada wanita yang menangis kala menikmati senja di tempat ini. Dan mereka butuh alasan untuk melakukannya, menitikkan air mata ketika cahaya merah terlihat dari hamparan penuh rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah air terjun di tengah hutan ini. Dan aku gak akan mau untuk melihat kamu menangis lagi”.
Aku hanya menghela nafas panjang. Sedikit kecewa karena aku ingin sekali menikmati senja di sini. “Sudahlah Dina, tujuan utama kita hari ini kan sebuah kawah di Gunung Saung Keris. Kalau kamu benar-benar penasaran, kamu bisa ke sini lain waktu dengan suasana hati yang lebih baik” saran Andra.
Aku menurut. Kami melanjutkan perjalanan. Kami pergi ke daerah Jaboi dan belok kiri setelah melewati desa. Lalu kami ikuti jalan tersebut hingga tidak bisa naik lebih tinggi lagi. Perlu jalan kaki sepanjang 200 meter di jalan setapak yang mengarah ke kanan. Memang sedikit sulit menemukan jalan tersebut. “Ikuti saja bau asap belerang dari gunung berapi” celetuk Andra dengan insting travellingnya.
Kami tiba di kawah Gunung Saung Keris. Gunung Saung Keris merupakan gunung berapi yang kecil yang jarang dikunjungi karena tidak dikelola sebagai tempat wisata. Dan karena itu, tempat ini masih terpelihara keindahannya dengan tidak adanya kerusakan yang biasa ditimbulkan manusia di tempat wisata.
Tak kusadari, aku merasakan kenyamanan lain dari perjalanan beberapa hari ini. Aku duduk di pinggir kawah, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk membersihkan seluruh pikiranku. Andra menghampiriku.
“Aku tahu seharusnya rasa ini ku kuburkan dalam-dalam sebelum ia berkembang dan akhirnya merekah. Tapi apa daya, kebersamaan kita ini membuat aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku merasakan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Mungkin sebuah rasa cinta. Aku gak tahu harus bagaimana. Aku tahu aku salah, Tapi…”, aku langsung menghambur ke dalam pelukkan Andra. Tak kusangka ia akan mengatakan itu. Aku tahu semua resikonya. Aku sangat amat tahu apa yang akan terjadi nantinya. Tapi aku juga tak mau menyiksa diriku sendiri. Karena aku juga merasakan hal yang sama. Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia. Karena cinta membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan gejala-gejala alami pun tak bisa merubah perjalanannya.
***
Aku merasa agak canggung setelah kemarin kami saling mengakui perasaan kami. Tapi ternyata tidak pada Andra. Ia tetap bersikap seperti kemarin, bahkan jauh lebih baik.
“Hari ini kamu mau kemana? Biar hari ini aku ikuti kemauan kamu” tanya Andra.
“Seperti yang kamu tahu, di Sabang ini aku cuma tahu Monumen Kilometer Nol” jawabku sekenanya.
“Oke kita kesana sekarang!”.
Monumen Kilometer Nol terletak di desa Iboih Ujong Ba’u, sekitar 29 kilometer di sebelah barat kota Sabang dan 5 kilometer dari Iboih. Monumen ini berdiri di puncak tebing setinggi 22,5 meter yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Monumen ini mempunyai simbol burung garuda sebagai pertanda bahwa disana merupakan ujung barat Indonesia. Di sepanjang jalan menuju monumen ini kami disambut dengan monyet-monyet. Aku merasa istimewa karena setiap pengunjung bisa memperoleh sertifikat dari agen perjalanan di Sabang sebagai bukti kunjungan ke lokasi geografis ini.
“Hei nona ahli sejarah, tahu gak kalau sekitar 7 kilometer dari Monumen Kilometer Nol, ada Monumen Kilometer Tujuh?” tanya Andra mengetes kemampuanku. “Sebelum penelitian geografis yang mutlak dilakukan, monumen tersebut merupakan Monumen Kilometer Nol. Setelah dipindahkan namanya menjadi Monumen Kilometer Tujuh” jawabku lancar. “Gak salah deh kalau kamu emang ternyata sang ahli sejarah, hehe” ledek Andra.
Kami menghabiskan waktu di Monumen Kilometer Tujuh. Berbagai cerita mengalir begitu saja diantara kami. Mengenai kegiatan kami masing-masing, aku di Jakarta, dan Andra di Medan. Menjelang sore, Andra mengajakku ke suatu tempat. Seperti biasa, dengan berbagai teka-teki.
“Sebenernya kita mau kemana sih?” tanyaku yang mulai lelah membuntuti Andra.
“Aku yakin, sebagai seorang ahli sejarah, kamu tentu tahu pembangunan besar-besaran yang dilakukan di Pulau Weh sekitar tahun 1943-1945?” Andra mengujiku.
“Hemm, pada tahun tersebut Indonesia sedang dikuasai oleh Jepang. Dan Jepang sedang mengalami masa-masa sulit karena mereka juga sedang menghadapi sekutu. Pembangunan saat itu difokuskan pada…seluruh penjuru Pulau Weh, terutama…di daerah Anoi Itam” aku menghentikan kalimatku untuk mengetahui apakah Andra masih menyimakku dengan baik, dan ia terlihat manggut-manggut tanda setuju.
“Kamu sudah tahu tempat yang kumaksud kan?” tanya Andra coba meyakinkan.
“Sepertinya” jawabku singkat.
Kami tiba di tempat yang dimaksud Andra. Tempat yang memang sudah aku perkirakan. Akan tetapi saat benar-benar melihatnya, aku amat takjub. Persis seperti apa yang dituliskan dalam buku-buku sejarah yang pernah kupelajari.
Benteng Perlindungan Jepang memang tersebar di seluruh penjuru Pulau Weh sehingga disebut kota Seribu Benteng. Dibangun pada tahun 1943 hingga 1945, benteng-benteng ini saling dihubungkan dengan terowongan, akan tetapi sekarang ditutup dengan alasan keamanan. Tetapi di Anoi Itam, masih bisa kulihat ada benteng yang cukup terawat. Selain itu juga terdapat benteng besar dengan banyak pintu masuk ke terowongan di Gunung Batu.
“Sudah berhasilkah aku membuatmu takjub dengan segala keindahan Sabang?” tanya Andra.
“Dari awal aku ketemu kamu, kamu selalu membuat aku takjub. Dan selalu makin takjub setiap harinya. Dan bodohnya aku adalah, aku baru menyadari bahwa kamu juga sebenarnya seorang ahli sejarah bukan? Kamu menuntun aku menemukan jawaban dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban yang berkaitan dengan sejarah. Pasti kamu lebih ahli dari aku. Hayo ngakuuu!” tuntut ku.
“Haha, kamu itu, aku memang mengetahui segala sesuatunya tentang Sabang. Seperti yang aku bilang ke kamu, aku terlanjur jatuh cinta pada Sabang. Maka aku berusaha mengetahui seluruh detail setiap jengkal yang dimiliki Sabang. Tapi bukan berarti aku ahli sejarah. Kalo kamu tanya aku tentang sejarah kota Medan aja, aku pasti kebingungan nyari jawabannya, hehe” jelas Andra.
Aku sibuk menikmati peninggalan-peninggalan Jepang itu. Tiba-tiba, sesuatu menarik penglihatanku “Itu bungalow yah? Di tempat kayak gini?” tanyaku pada Andra. “Kamu gak tahu? Itu bungalow yang paling terkenal loh, Bungalow flamboyan yang terletak di Lhong Angen. Apa kamu bisa nebak, dahulu lokasi itu tempat apa?” uji Andra kembali. Aku sedikit ragu, tapi Lhong Angen, itu berarti “Bekas lokasi kamp Jepang?”.
Andra bertepuk tangan sepuasnya. Setelah itu dia tersenyum menatapku. Agak risih sebenarnya, apalagi setelah kami mengakui perasaan kami masing-masing. “Kenapa kamu ngeliat aku kayak gitu?” tanyaku. “Heran aja, wanita cantik seperti kamu, mempesona, berkharisma, cerdas dan sukses, kok masih ada yah yang tega menyia-nyiakanmu?”. “Udah deh, gausah ngomongin itu lagi, kamu mau liat aku nangis-nangis lagi?” ucapku sebal. Andra tak menjawab, ia hanya mengacak rambutku dengan lembut. Dan aku merasa nyaman.
Jika dunia dapat berhenti berputar, mungkin inilah saatnya. Saat dimana mata kami saling menatap, membuat semua yang ada di sekeliling kami seakan berhenti berputar. Alam membungkam. Memberikan kesempatan kepada kami untuk saling bertukar rahasia, lewat tatapan mata.
***
Ini adalah hari ke empat aku berada di Sabang. Dengan seseorang yang sebenarnya tidak boleh ku cintai, atau lebih tepatnya tidak boleh aku miliki. Tapi, biarlah aku menikmati kebahagiaan ini, meski aku tahu pasti apa yang akan terjadi nantinya. Aku sangat mengerti, maka dari itu aku membiarkan perasaanku ini berkembang tanpa interupsi.
Hari ini Andra berjanji untuk memberi senja terindah untukku. Sebelum senja, kami pergi ke Keunakai, yang terletak di dekat Pantai Pasir Putih. Keunakai merupakan sebuah kolam kecil yang dialiri sumber air panas yang memungkinkan kita untuk berendam dan melepas lelah. Aku sangat amat menikmatinya. Perjalanan beberapa hari ini tak bisa membohongi tubuhku yang mulai merasa letih. Letak Keunakai yang berada jauh di atas permukaan laut, memungkinkan kami untuk melihat pemandangan Pulau Weh yang memang tak kalah cantik jika dilihat dari atas.
Sekitar pukul 03.00, kami melanjutkan perjalanan menuju taman laut Pulau Rubiah. Kami menggunakan kapal feri untuk menyebrang yang memakan waktu sekitar 30 menit. Selama di kapal feri, kami saling membungkam. Akhirnya aku angkat bicara. “Besok aku kembali ke Jakarta” ujarku datar sambil berusaha menyembunyikan kesedihanku. Andra tak berkomentar apapun. Ia tetap pada pandangannya. Memandang jauh ke lepas pantai. Aku tak bisa menerka apa yang sedang dipikirkannya. Bahkan akupun tak tahu apa yang sedang ku pikirkan. Tapi aku tahu, Andra pasti mendengar ucapanku itu dengan sangat jelas.
Kami tiba di taman laut Pulau Rubiah. Sangat cantik. Dari atas kapal-kapal kecil milik warga setempat saja, kita bisa melihat ikan-ikan kecil bermain dengan riang. Bahkan sinar matahari bisa masuk hingga kedalaman 15 meter.
Menjelang senja, kami menepi ke pantai. Aku sibuk bermain dengan pasir pantai. Lalu aku menuliskan sebuah kalimat di atas pasir pantai. Terima kasih Sabang. Aku tersenyum. Semangatku telah kembali. Bayangan keterpurukanku telah lenyap ditelan asa ku.
“Sama-sama” tiba-tiba Andra berada di belakangku.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Terima kasih karena kamu bisa mengisi hari-hariku. Kamu yakin mau pulang besok?”
Aku hanya mengangguk. Sebuah anggukan untuk Andra dan untuk meyakinkan diriku sendiri.
“Lalu, bagaimana dengan ku? Maksudku, dengan kita?”
“Sudah saatnya ini diakhiri kan Ndra? Sejak awal kita sama-sama tahu kalau seharusnya rasa ini tak boleh berkembang”
Iya, tapi toh kita sudah saling mengakuinya
“Andra, kamu masih inget kan? Ada yang sedang menantimu dengan segenap jiwanya disanadi Medan?”
“Tapi aku hanya mencintai kamu, kamu tahu kan itu?”
“Ya aku tahu, dan aku pun merasakan hal yang sama. Tapi jangan buat aku berpikiran bahwa kamu sama halnya dengan Reno. Kamu harus menghadapi segala konsekuensi dari keputusan yang kamu ambil. Begitu juga aku, mencintai seseorang yang secara jelas telah memiliki seorang tunangan, inilah konsekuensi yang harus aku hadapi. Dan aku tak pernah menyesalinya”.
“Jadi…”
“Kita kembali ke kehidupan kita masing-masing sebelum semua ini terjadi. Dan aku tak mengingkari bahwa kamulah yang terbaik yang pernah aku milikimeski sesaat. Kembalilah kepadanya. Jangan biarkan ia menangis sama seperti saat aku menangis”.
“Izinkan aku memelukmu untuk yang terkahir kalinya”
Kami berpelukkan. Dalam pelukan, Andra berucap “mengapa tuhan mengizinkan dua anak manusia untuk saling mencintai? Jika pada akhirnya hanya untuk memisahkan mereka?”.
Aku melepaskan pelukannya. “Cinta tidak harus memiliki. Tetapi sekali kita memiliki cinta, bahagiakanlah ia. Sangat tidak mudah memang, tapi cinta membuat semua itu bisa terjadi” ujarku.
Dan kini, di bawah gradasi warna merah kekuningan yang tampak menyala memenuhi langit, aku melepaskannya. Bukan dengan tangisan, tapi dengan seluruh senyuman.
“Dina?” panggil Andra.
“Ya?”
“Aku hanya ingin mencatat, matamu begitu biru, menyimpan pulau-pulau dengan laut tak lagi asin, sore menjadi begitu ngilu, mulutku gagu. Tapi harus kukatakan kini, aku menitip puisi cinta di matamu, yang akan menjadi bibit hujan, dan sumber cahaya dalam lekam yang membekas” ucap Andra melantunkan sajaknya.
Aku tersenyum. Seperti inilah kami. Kami menyatu saat laut menjadi penghalang. Membaur seperti gula dalam air. Atau kopi di atas meja. Begitu saja cinta kami teraduk. Menjadi pekat tanpa protes. Aku masih setia melihat bintang itu. Diapun juga. Bintang kita sama―Di ujung rindu, dekat sang waktu.




Cerita pendek ini dipersembahkan untuk: Pemilik langit senja
Terima kasih untuk pengalaman hidupnya, perkenalan, juga persahabatan singkatnya.