Dengan malas aku bangun dari kursi tunggu
penumpang. Ini sudah panggilan ketiga dari pengeras
suara yang menyatakan bahwa sesaat lagi pesawat yang akan membawaku ke ujung Indonesia
lepas landas. Aku mencari nomor kursiku di pesawat. Setelah menemukannya, aku
langsung menghempaskan tubuhku di atas kursi pesawat. Untunglah aku mendapat
kursi di sebelah kaca sehingga aku tidak perlu beramah-tamah dengan penumpang
lain yang berada di sebelahku. Saat ini aku memang tidak ingin berbicara
apapun. Karena dengan mengeluarkan suara sedikit saja, air mata yang sedari
tadi aku bendung sekuat tenaga akan mengalir juga. Dan aku tak mau hal itu
terjadi.
Saat pesawat lepas landas aku masih
sibuk dengan pikiranku sendiri. Masih terekam jelas oleh ingatanku bagaimana
pembatalan secara sepihak itu dilontarkan kepadaku. Pernikahan yang telah
menghitung hari hancur berantakkan. Semua merasa malu. Keluargaku, sahabatku,
juga orang-orang terdekatku. Dan aku? Malu, kecewa, sakit hati, kesal, bahkan
marah. Semuanya kurasakan. Pipiku terasa hangat, tak terasa air mata mulai
membasahi pipi. Segera kuhapus agar tidak ada yang melihatku dalam keadaan
terpuruk seperti ini. Aku berada di pesawat ini untuk mencari semangat baru.
Aku memalingkan wajahku ke jendela pesawat. Langit khas senja yang
kemerah-merahan berpose indah di angkasa. Cantik.
Pesawatku transit di Medan. Dan aku
harus melanjutkan perjalanku menuju Bumi Serambi Mekkah. Aku menunggu di ruang
tunggu penumpang, karena terlalu lelah sampai-sampai aku tertidur. Sumber suara
dari pengeras suara membangunkanku dari tidur. Tiba-tiba aku tersadar aku tidur
bersandar pada sesuatu atau lebih tepatnya pada seseorang.
“Kamu terlihat lelah sekali. Maaf
membuatmu terbangun. Tetapi pesawat yang akan aku tumpangi akan segera lepas
landas jadi aku terpaksa membuatmu terbangun” tutur pria itu.
“Maaf-maaf, aku benar-benar minta
maaf. Aku sama sekali gak bermaksud untuk bersandar. Maaf, sekali lagi maaf”
ucapku.
“Gak pa-pa kok, kamu mau kemana?”
tanyanya.
“Aceh” jawabku singkat.
“Berarti kamu satu pesawat denganku.
Ayo berangkat. Satu kata lagi keluar dari mulutku atau mulutmu maka kita akan
ketinggalan pesawat” ujarnya dengan menyunggingkan senyum.
Maka aku membuntutinya hingga masuk
ke dalam pesawat. Ia mencoba membantuku mencari nomor kursiku yang ternyata
bersebelahan dengannya. Mengetahui hal itu aku semakin mematung. Aku takut dia
akan marah padaku soal kejadian di ruang tunggu itu. Aku kembali mendapatkan
sisi jendela pesawat. Maka dengan segera kupalingkan wajahku agar ia tak bisa
berbincang denganku. Perkiraanku meleset. Ternyata dia malah mengajakku
berbicara. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan aku memulai perbincangan
dengannya.
“Oiya, kita belum berkenalan, aku
Andra” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
“Hemm, a…aku Dina. Sekali lagi maaf
yah untuuuk…”
“Udah ah, jangan minta maaf terus!
Kayak lagi lebaran aja” candanya.
Suasana diantara kami mulai mencair.
Beragam cerita mengalir diantara kami. Dari mulai tempat-tempat wisata yang pernah
dikunjungi Andra, karena dia seorang yang senang travelling, sampai cerita
suramku mengenai gagalnya pernikahanku. Namun bedanya kali ini adalah tak ada
tangisan. Sudah habis air mataku untuk menangisi pria brengsek itu. Kini aku
mulai dengan semangat baru, sahabat baru.
“Kamu akan menginap dimana? Mungkin
nanti kita bisa bertemu, kamu harus tahu objek-objek yang gak boleh terlewatkan
ketika kamu berada di Aceh ” kata Andra.
“Hemmm… sebenernya…aku belum tahu
harus kemana. Awalnya aku pikir akan sampai di Aceh sore hari jadi aku bisa
sambil cari-cari penginapan. Tapi gara-gara pesawat tadi delay, jadi…”
“Udah deh, aku ngerti kok. Gini nih
perempuan kalo lari dari masalah. Cuma kabur doang, gak mikirin yang
lain-lainnya. Sekarang gak tau kan
mau kemana? Mana hari sudah gelap” ujar Andra
“Kamu mau ngasih solusi apa engga?
Kalo cuma mau ngasih nasehat yang terdengar seperti omelan itu sih gausah yah
makasih” gerutuku.
“Hey, ngambek nih ceritanya? Hehe,
ya sudah, gini aja, aku punya pondok yang sangat amat sederhana. Ada beberapa kamar. Kalo
untuk memejamkan mata sama merebahkan tubuh doang sih cukup nyaman. Tapi beda
jauh sama hotel berbintang atau bungalow. Kalo kamu mau, kamu bisa bermalam
untuk malam ini, besok pagi baru kamu bisa cari penginapan yang sesuai dengan
keinginan kamu. Gratis kok! hehe” jelas Andra.
“Mauuu… hehe” jawabku.
***
Pagi ini kubiarkan mentari masuk
melalui kisi-kisi jendela kamar dimana aku berdiri saat ini. Tak lama, pintu
kamar diketuk. Seseorang masuk―Andra rupanya. “Sudah bangun? Sarapan dulu yuk! Nanti selesai
sarapan baru kamu bisa cari hotel yang sesuai dengan mu” ajak Andra. Aku hanya
mengangguk. Lalu aku mengekor untuk sampai di meja makan. Sarapan berlangsung
hening. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku ataupun Andra. Kami sibuk
dengan pemikiran masing-masing. Hingga pada akhirnya aku buka suara.
“Pondok ini tidak untuk disewakan
yah?” tanyaku.
“Kenapa? Kamu mau sewa? Haha, gak
usah bayar” jawab Andra dengan bercanda.
“Iih, seriuuus, habisnya sepi
banget. Gak kayak tempat-tempat penginapan lainnya”.
“Engga, ini milik aku pribadi.
Memang bukan untuk disewakan. Lagian kalo disewakan ada aja yang cepet rusak.
Yang inilah, yang itulah, jadi mending dipake untuk pribadi aja”.
“Kamu memang sering liburan ke Aceh
yah?”
“Sebenernya tujuan utamanya bukan
Aceh, tetapi Pulau Weh, pulau yang selama ini dikenal sama kebanyakan orang
dengan nama Pulau Sabang. Aku memang sering bepergian ke berbagai pulau. Tapi
aku sudah terlanjur jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Pulau Weh, hehe.
Makanya aku sering kesini dan mendirikan pondok ini” jelasnya.
Hening kembali menghinggapi kami.
Entah apa yang sedang dipikirkan Andra. Yang jelas saat ini dalam benakku
adalah aku mau kemana? Aku sama sekali tidak mengenal Aceh. Sangat sulit
menemukan buku yang menjelaskan tentang daerah-daerah wisata di Aceh. “Andra,
eem… kamu keberatan gak kalo aku ikut kamu aja. Habisnya Aceh terlalu asing
buatku. Yang aku tau cuma Monumen Kilometer Nol―yang
sebenernya aku gak tahu letak persisnya dimana. Jadi aku butuh tour guide kayak
kamu. Eh, itu juga kalo kamu gak keberatan yah” pintaku.
Andra tampak menimbang sejenak. “Hemm,
sebenernya sih gak pa-pa. Asalkan gak disuruh gendong kamu kemana-mana aku gak
bakal keberatan. Hehe”. Aku merungut, tapi aku senang akhirnya aku punya teman
untuk mengelilingi pulau ini. “Mulai dari mana hari ini?” tanyaku dengan
semangat. “Pokoknya kamu ikut aja. Beresin dulu sarapannya, lalu siap-siap”.
***
Kami menggunakan sebuah VW Combi
yang masih terawat apik. “Ini mobilmu?” tanyaku yang memang penasaran dengan
Combi cantik ini. “Iya, sengaja aku taro di sini, kalo di Medan terlalu ramai. Tak cocok untuk Combi. VW
ini cocoknya untuk bersantai”.
“Oiya, kamu kenapa jalan-jalan
sendirian?” tanyaku.
“Ya, sebenarnya aku memang ada
masalah. Dan setiap ada masalah aku pasti lari ke Sabang. Di sini aku selalu
mendapat ketenangan. Sebuah ketenangan yang diberikan warna kemerahan senja”.
Aku hanya manggut-manggut. Ada
kepedihan yang dalam di mata Andra yang coba ia sembunyikan. Tapi aku menahan
diri untuk mengetahui lebih dalam. Aku sadar aku bukan siapa-siapa yang berhak
tahu urusan pribadi orang yang baru ku kenal.
Suara Andra membuyarkan lamunanku.
“Dina, apa yang membuat kamu akhirnnya memilih Aceh menjadi tempat pelarianmu?”.
“Hemm, apa yah? Sebenernya sih aku cuma pingin pergi sejauh mungkin
dari penderitaan yang aku rasakan. Dan aku pikir karena letak Aceh yang berada
di ujung Indonesia ,
aku berarti sudah pergi jauh dari masalahku”.
“Dan akhirnya kamu mengetahui bahwa pemikiranmu itu salah?” tanya
Andra yang sebenarnya ia tidak butuh jawaban. Ia melanjutkan kalimatnya.
“Masalah itu letaknya cuma ada di sini dan di sini” ia menunjukkan kepala dan
dada dengan telunjuknya. “Sejauh apapun kamu pergi, hati dan pemikiranmu akan
selalu menjadi pembimbingmu juga bayanganmu”.
Aku bungkam. Menyesalinya pun tak berarti. Aku mencoba mengalihkan
pembicaraan. “Jadi kita mau kemana nih?”. “Apa yang kamu tahu tentang Sabang?”
ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan pula.
“Sabang itu terbagi dua wilayah sejak jaman kolonial hingga kini.
Satu wilayah disebut Kota Atas. Yang lainya disebut Kota Bawah. Kota Atas,
seperti namanya, merupakan wilayah untuk kalangan elit Belanda pada masanya.
Mengenai kota Bawah, wilayah tersebut terbagi 3, yakni pondok nelayan
tradisional di sepanjang pantai selatan pelabuhan Sabang, Jalan Utama Pasiran
yang merupakan wilayah perdagangan, serta Kongsi yang tak lain adalah wilayah
pemukiman” jawabku dengan seluruh pengetahuanku.
“Wow, aku berhadapan dengan ahli sejarah rupanya” celetuk Andra. Aku
hanya tersenyum, ya akulah Dinda Farani yang memilih mendalami ilmu sejarah
saat menjadi mahasiswi. Andra kembali melanjutkan kalimatnya “Kamu benar,
percaya atau tidak, Kota Atas dan Kota Bawah masih ada hingga saat ini bahkan
sangat terpelihara. Gedung-gedung peninggalan kolonial Belanda yang megah masih
terawat rapi di Kota Atas. Ada
yang perlu kamu tahu, Kota Atas menyajikan pemandangan Teluk Sabang yang indah
dan terbentang sampai Pantai Kasih”.
“Jadi kita akan kesana?” tanyaku setelah sadar bahwa Andra ternyata
memberikan teka-teki disetiap pertanyaannya. “Ke Teluk Sabang lebih tepatnya”
jawab Andra sambil tersenyum.
Menyebrang dengan kapal feri sekitar satu jam dari Banda Aceh, aku
bisa menikmati pemandangan Teluk Sabang yang indah. Selain itu, Danau Aneuk
Laut dan panorama-panorama lepas Pulau Sabang juga mengiringi keindahan yang
dihadirkan. Sebuah desa di bawah bukit dan sebuah kapal nelayan yang bergerak
menyusuri garis laut menambah keindahan di Teluk Sabang. Kami memutuskan untuk
menyewa sebuah penginapan, karena kami akan berada di Pulau Sabang untuk
beberapa hari.
Kami puas bermain air di Teluk Sabang. Setelah lelah bermain, aku
merebahkan diriku di atas putihnya pasir pantai. Di sebelahku, Andra ikut
berbaring. Dalam diam seperti ini, bayangan Reno menghantuiku lagi. Ah, pria itu.
Sekalipun ia telah menyakitiku namun ia pernah menjadi bagian dari hidupku. Dan
kenyataan itu yang paling menyakitkan. Sepertinya Andra mengetahui apa yang aku
fikirkan.
“Manusia memang dikendalikan oleh keinginan, kebutuhan, harapan, dan
juga impian. Ketika semua itu lenyap, kita turut lenyap. Kesuksesan atau
kegagalan dalam kehidupan dapat diukur dengan apa yang kita tinggalkan di
belakang dan apa yang kita bawa bersama kita. Ketika kamu terlalu lama hidup
merana, kamu harus dikendalikan oleh satu-satunya hal yang lebih kuat daripada
kematian, adalah cinta” ujar Andra.
“Cinta? Kamu tahu, dahulu aku berpikir bahwa hanya ada satu-satunya
aku di dunia ini. Namun impianku, adalah menjadi satu-satunya dunia bagi
seseorang. Dan ketika impianku itu hancur sekejap…” air mataku mulai bercucuran
satu persatu. Tak ada lagi kalimat yang keluar dari mulutku. Hanya isak tangis
yang semakin kencang. Aku larut dalam kepedihanku―dalam pelukkan
Andra.
Kabut-kabut nakal di pelupuk mata mulai menghilang. Terhapuskan
angin yang masih berbaik hati. Kini kami menikmati senja. Menanti matahari
kembali ke peraduannya. Andra benar, di sini akan selalu mendapat ketenangan.
Sebuah ketenangan yang diberikan warna kemerahan senja.
***
Hari ini kami berniat untuk mengunjungi Gunung Saung Keris.
Pagi-pagi sekali kami berangkat dari tempat penginapan kami di desa Pria Laot.
Di tengah-tengah hutan, tidak terlalu jauh dari desa Pria Laot, mengalir sebuah
sungai yang kemudian berubah menjadi air terjun bertingkat yang menakjubkan.
Sungai itu berhulu di Gunung Saung Keris. Di sana bisa berenang atau menikmati suasana
hutan lindung dengan kupu-kupu yang bertebaran di sekelilingnya, seperti yang
kulakukan saat ini.
“Kamu masih mau berlama-lama di sini?” tanya Andra yang melihatku
sibuk melamun.
“Kamu pernah menikmati senja di tempat ini?” kataku balik bertanya.
Andra hanya menggeleng. “Senja itu milik pantai, milik laut. Dan
gunung adalah milik fajar di pagi hari. Itu sudah kuasa alam Dina, meskipun
akan terlihat fajar di pantai atau senja di tengah hutan seperti ini, tiada
yang dapat menandingi keindahan mereka selain dimana tempat-tempat mereka yang
sesuai dengan hakikatnya”.
“Apa aku boleh menikmati senja di sini?” tanyaku.
Ia tersenyum. “Kamu tahu, ada mitos warga desa ini yang bilang bahwa
akan selalu ada wanita yang menangis kala menikmati senja di tempat ini. Dan
mereka butuh alasan untuk melakukannya, menitikkan air mata ketika cahaya merah
terlihat dari hamparan penuh rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah air terjun di
tengah hutan ini. Dan aku gak akan mau untuk melihat kamu menangis lagi”.
Aku hanya menghela nafas panjang. Sedikit kecewa karena aku ingin
sekali menikmati senja di sini. “Sudahlah Dina, tujuan utama kita hari ini kan sebuah kawah di
Gunung Saung Keris. Kalau kamu benar-benar penasaran, kamu bisa ke sini lain
waktu dengan suasana hati yang lebih baik” saran Andra.
Aku menurut. Kami melanjutkan perjalanan. Kami pergi ke daerah Jaboi
dan belok kiri setelah melewati desa. Lalu kami ikuti jalan tersebut hingga
tidak bisa naik lebih tinggi lagi. Perlu jalan kaki sepanjang 200 meter di
jalan setapak yang mengarah ke kanan. Memang sedikit sulit menemukan jalan
tersebut. “Ikuti saja bau asap belerang dari gunung berapi” celetuk Andra
dengan insting travellingnya.
Kami tiba di kawah Gunung Saung Keris. Gunung Saung Keris merupakan
gunung berapi yang kecil yang jarang dikunjungi karena tidak dikelola sebagai
tempat wisata. Dan karena itu, tempat ini masih terpelihara keindahannya dengan
tidak adanya kerusakan yang biasa ditimbulkan manusia di tempat wisata.
Tak kusadari, aku merasakan kenyamanan lain dari perjalanan beberapa
hari ini. Aku duduk di pinggir kawah, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya
untuk membersihkan seluruh pikiranku. Andra menghampiriku.
“Aku tahu seharusnya rasa ini ku kuburkan dalam-dalam sebelum ia
berkembang dan akhirnya merekah. Tapi apa daya, kebersamaan kita ini membuat
aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku merasakan sesuatu yang tak bisa
kujelaskan. Mungkin sebuah rasa cinta. Aku gak tahu harus bagaimana. Aku tahu
aku salah, Tapi…”, aku langsung menghambur ke dalam pelukkan Andra. Tak
kusangka ia akan mengatakan itu. Aku tahu semua resikonya. Aku sangat amat tahu
apa yang akan terjadi nantinya. Tapi aku juga tak mau menyiksa diriku sendiri.
Karena aku juga merasakan hal yang sama. Cinta adalah satu-satunya kebebasan di
dunia. Karena cinta membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan
gejala-gejala alami pun tak bisa merubah perjalanannya.
***
Aku merasa agak canggung setelah kemarin kami saling mengakui
perasaan kami. Tapi ternyata tidak pada Andra. Ia tetap bersikap seperti
kemarin, bahkan jauh lebih baik.
“Hari ini kamu mau kemana? Biar hari ini aku ikuti kemauan kamu” tanya Andra.
“Seperti yang kamu tahu, di Sabang ini aku cuma tahu
Monumen Kilometer Nol” jawabku sekenanya.
“Oke kita kesana sekarang!”.
Monumen Kilometer Nol terletak di desa Iboih Ujong
Ba’u, sekitar 29 kilometer di sebelah barat kota Sabang dan 5 kilometer dari Iboih.
Monumen ini berdiri di puncak tebing setinggi 22,5
meter yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Monumen ini mempunyai simbol
burung garuda sebagai pertanda bahwa disana merupakan ujung barat Indonesia .
Di sepanjang jalan menuju monumen ini kami disambut dengan monyet-monyet. Aku
merasa istimewa karena setiap pengunjung bisa memperoleh sertifikat dari agen
perjalanan di Sabang sebagai bukti kunjungan ke lokasi geografis ini.
“Hei nona ahli sejarah, tahu gak kalau sekitar 7 kilometer dari
Monumen Kilometer Nol, ada Monumen Kilometer Tujuh?” tanya Andra mengetes
kemampuanku. “Sebelum penelitian geografis yang mutlak dilakukan, monumen tersebut
merupakan Monumen Kilometer Nol. Setelah dipindahkan namanya menjadi Monumen
Kilometer Tujuh” jawabku lancar. “Gak salah deh kalau kamu emang ternyata sang
ahli sejarah, hehe” ledek Andra.
Kami menghabiskan waktu di Monumen Kilometer Tujuh. Berbagai cerita
mengalir begitu saja diantara kami. Mengenai kegiatan kami masing-masing, aku
di Jakarta , dan
Andra di Medan. Menjelang
sore, Andra mengajakku ke suatu tempat. Seperti biasa, dengan berbagai
teka-teki.
“Sebenernya kita mau kemana sih?” tanyaku yang mulai lelah
membuntuti Andra.
“Aku yakin, sebagai seorang ahli sejarah, kamu tentu tahu pembangunan
besar-besaran yang dilakukan di Pulau Weh sekitar tahun 1943-1945?” Andra
mengujiku.
“Hemm, pada tahun tersebut Indonesia sedang dikuasai oleh
Jepang. Dan Jepang sedang mengalami masa-masa sulit karena mereka juga sedang
menghadapi sekutu. Pembangunan saat itu difokuskan pada…seluruh penjuru Pulau
Weh, terutama…di daerah Anoi Itam” aku menghentikan kalimatku untuk mengetahui
apakah Andra masih menyimakku dengan baik, dan ia terlihat manggut-manggut
tanda setuju.
“Kamu sudah tahu tempat yang kumaksud kan ?” tanya Andra coba meyakinkan.
“Sepertinya” jawabku singkat.
Kami tiba di tempat yang dimaksud Andra. Tempat
yang memang sudah aku perkirakan. Akan tetapi saat benar-benar melihatnya, aku
amat takjub. Persis seperti apa yang dituliskan dalam buku-buku sejarah yang
pernah kupelajari.
Benteng Perlindungan Jepang memang tersebar di
seluruh penjuru Pulau Weh sehingga disebut kota Seribu Benteng. Dibangun pada tahun 1943 hingga 1945,
benteng-benteng ini saling dihubungkan dengan terowongan, akan tetapi sekarang
ditutup dengan alasan keamanan. Tetapi di Anoi Itam, masih
bisa kulihat ada benteng yang cukup terawat. Selain itu juga terdapat benteng
besar dengan banyak pintu masuk ke terowongan di Gunung Batu.
“Sudah berhasilkah aku membuatmu takjub dengan segala keindahan
Sabang?” tanya Andra.
“Dari awal aku ketemu kamu, kamu selalu membuat aku takjub. Dan
selalu makin takjub setiap harinya. Dan bodohnya aku adalah, aku baru menyadari
bahwa kamu juga sebenarnya seorang ahli sejarah bukan? Kamu menuntun aku menemukan
jawaban dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban yang
berkaitan dengan sejarah. Pasti kamu lebih ahli dari aku. Hayo ngakuuu!” tuntut
ku.
“Haha, kamu itu, aku memang mengetahui segala
sesuatunya tentang Sabang. Seperti yang aku bilang ke kamu, aku terlanjur jatuh
cinta pada Sabang. Maka aku berusaha mengetahui seluruh detail setiap jengkal
yang dimiliki Sabang. Tapi bukan berarti aku ahli sejarah. Kalo kamu tanya aku
tentang sejarah kota Medan aja, aku pasti kebingungan nyari jawabannya, hehe”
jelas Andra.
Aku sibuk menikmati peninggalan-peninggalan
Jepang itu. Tiba-tiba, sesuatu menarik penglihatanku “Itu bungalow yah? Di
tempat kayak gini?” tanyaku pada Andra. “Kamu gak tahu? Itu bungalow yang
paling terkenal loh, Bungalow flamboyan yang terletak di Lhong Angen. Apa kamu
bisa nebak, dahulu lokasi itu tempat apa?” uji Andra kembali. Aku sedikit ragu,
tapi Lhong Angen, itu berarti “Bekas lokasi kamp Jepang?”.
Andra bertepuk tangan sepuasnya. Setelah itu
dia tersenyum menatapku. Agak risih sebenarnya, apalagi setelah kami mengakui
perasaan kami masing-masing. “Kenapa kamu ngeliat aku kayak gitu?” tanyaku.
“Heran aja, wanita cantik seperti kamu, mempesona, berkharisma, cerdas dan
sukses, kok masih ada yah yang tega menyia-nyiakanmu?”. “Udah deh, gausah
ngomongin itu lagi, kamu mau liat aku nangis-nangis lagi?” ucapku sebal. Andra
tak menjawab, ia hanya mengacak rambutku dengan lembut. Dan aku merasa nyaman.
Jika dunia dapat berhenti berputar, mungkin
inilah saatnya. Saat dimana mata kami saling menatap, membuat semua yang ada di
sekeliling kami seakan berhenti berputar. Alam membungkam. Memberikan
kesempatan kepada kami untuk saling bertukar rahasia, lewat tatapan mata.
***
Ini adalah hari ke empat aku berada di Sabang. Dengan
seseorang yang sebenarnya tidak boleh ku cintai, atau lebih tepatnya tidak
boleh aku miliki. Tapi, biarlah aku menikmati kebahagiaan ini, meski aku tahu
pasti apa yang akan terjadi nantinya. Aku sangat mengerti, maka dari itu aku
membiarkan perasaanku ini berkembang tanpa interupsi.
Hari ini Andra berjanji untuk memberi senja
terindah untukku. Sebelum senja, kami pergi ke Keunakai, yang terletak di dekat
Pantai Pasir Putih. Keunakai merupakan sebuah kolam kecil yang dialiri sumber
air panas yang memungkinkan kita untuk berendam dan melepas lelah. Aku sangat
amat menikmatinya. Perjalanan beberapa hari ini tak bisa membohongi tubuhku
yang mulai merasa letih. Letak Keunakai yang berada jauh di atas permukaan
laut, memungkinkan kami untuk melihat pemandangan Pulau Weh yang memang tak
kalah cantik jika dilihat dari atas.
Sekitar pukul 03.00, kami melanjutkan perjalanan
menuju taman laut Pulau Rubiah. Kami menggunakan kapal feri untuk menyebrang
yang memakan waktu sekitar 30 menit. Selama di kapal feri, kami saling membungkam. Akhirnya aku angkat
bicara. “Besok aku kembali ke Jakarta ”
ujarku datar sambil berusaha menyembunyikan kesedihanku. Andra tak berkomentar apapun. Ia tetap pada
pandangannya. Memandang jauh ke lepas pantai. Aku tak bisa menerka apa yang
sedang dipikirkannya. Bahkan akupun tak tahu apa yang sedang ku pikirkan. Tapi
aku tahu, Andra pasti mendengar ucapanku itu dengan sangat jelas.
Kami tiba di taman laut Pulau Rubiah. Sangat
cantik. Dari atas kapal-kapal kecil milik warga setempat saja, kita bisa
melihat ikan-ikan kecil bermain dengan riang. Bahkan sinar matahari bisa masuk
hingga kedalaman 15 meter.
Menjelang senja, kami menepi ke pantai. Aku sibuk
bermain dengan pasir pantai. Lalu aku menuliskan sebuah kalimat di atas pasir
pantai. Terima kasih Sabang. Aku
tersenyum. Semangatku telah kembali. Bayangan keterpurukanku telah lenyap
ditelan asa ku.
“Sama-sama” tiba-tiba Andra berada di belakangku.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Terima kasih karena kamu bisa mengisi
hari-hariku. Kamu yakin mau pulang besok?”
Aku hanya mengangguk. Sebuah anggukan untuk Andra dan untuk
meyakinkan diriku sendiri.
“Lalu, bagaimana dengan ku? Maksudku, dengan kita?”
“Sudah saatnya ini diakhiri kan Ndra? Sejak awal
kita sama-sama tahu kalau seharusnya rasa ini tak boleh berkembang”
“Iya, tapi toh kita
sudah saling mengakuinya”
“Andra, kamu masih inget kan? Ada yang sedang
menantimu dengan segenap jiwanya disana―di Medan ?”
“Tapi aku hanya mencintai kamu, kamu tahu kan itu?”
“Ya aku tahu, dan aku pun merasakan hal yang sama. Tapi jangan buat
aku berpikiran bahwa kamu sama halnya dengan Reno . Kamu harus menghadapi segala
konsekuensi dari keputusan yang kamu ambil. Begitu juga aku, mencintai
seseorang yang secara jelas telah memiliki seorang tunangan, inilah konsekuensi
yang harus aku hadapi. Dan aku tak pernah menyesalinya”.
“Jadi…”
“Kita kembali ke kehidupan kita masing-masing sebelum semua ini
terjadi. Dan aku tak mengingkari bahwa kamulah yang terbaik yang pernah aku
miliki―meski sesaat. Kembalilah kepadanya. Jangan biarkan ia menangis sama
seperti saat aku menangis”.
“Izinkan aku memelukmu untuk yang terkahir kalinya”
Kami berpelukkan. Dalam pelukan, Andra berucap “mengapa tuhan
mengizinkan dua anak manusia untuk saling mencintai? Jika pada akhirnya hanya
untuk memisahkan mereka?”.
Aku melepaskan pelukannya. “Cinta tidak harus memiliki. Tetapi
sekali kita memiliki cinta, bahagiakanlah ia. Sangat tidak mudah memang, tapi
cinta membuat semua itu bisa terjadi” ujarku.
Dan kini, di bawah gradasi warna merah kekuningan yang tampak
menyala memenuhi langit, aku melepaskannya. Bukan dengan tangisan, tapi dengan
seluruh senyuman.
“Dina?” panggil Andra.
“Ya?”
“Aku hanya ingin mencatat, matamu begitu biru, menyimpan pulau-pulau
dengan laut tak lagi asin, sore menjadi begitu ngilu, mulutku gagu. Tapi harus
kukatakan kini, aku menitip puisi cinta di matamu, yang akan menjadi bibit
hujan, dan sumber cahaya dalam lekam yang membekas” ucap Andra melantunkan
sajaknya.
Aku tersenyum. Seperti inilah kami. Kami menyatu saat laut menjadi
penghalang. Membaur seperti gula dalam air. Atau kopi di atas meja. Begitu saja
cinta kami teraduk. Menjadi pekat tanpa protes. Aku masih setia melihat bintang
itu. Diapun juga. Bintang
kita sama―Di
ujung rindu, dekat sang waktu.
Cerita pendek ini dipersembahkan
untuk: Pemilik langit senja
Terima kasih untuk pengalaman
hidupnya, perkenalan, juga persahabatan singkatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar