KESET

KESET! a.k.a Welcome, haha selamat datang, selamat baca-baca, selamat menikmati, selamat komen, selamat kritik, :)

Minggu, 25 Maret 2012

A-Z

“Salemba…Salemba, ayo neng, Salemba masih kosong, duduk…duduk…” teriak seorang kenek di terminal Lebak Bulus. Aku hanya melihat sekilas kearah kenek bis tersebut. Ini sudah menjadi rutinitasku setiap hari saat pulang sekolah. Aku terlalu lelah untuk menggubris suara-suara itu. Aku menghempaskan pantatku ke atas kursi bis yang sebenarnya sudah tidak layak beroperasi. Tapi inilah Jakarta, inilah ibukota yang lebih jahat dari ibu tiri. Ah, tak sampai hati aku untuk menghabiskan tenagaku hanya untuk mengeluhkan bobroknya bangsa ini.
Ketimbang mengeluhkan kondisi bis ini, aku lebih memilih untuk memasangkan headset yang tersambung dengan telepon selularku ke telinga. Sedikit mencari kenyamanan untuk diri sendiri karena memang tak akan ada yang memberi. Selain pengap, asap rokok pun tak kalah meramaikan siang ini. Terganggu? Sudah pasti. Tapi toh aku sudah bertahan sejauh ini. Hampir tiga tahun aku menjalani rutinitasku seperti ini. Bagiku, mengeluh setiap hari dan menjalani setiap hari sudah tidak lagi memiliki batasan yang begitu berarti. Layaknya cinta dan benci. Tak pernah ada batasan yang jelas mengenai keduanya.
Bis ini masih terlalu kosong untuk meninggalkan terminal. Sangat kosong bahkan. Aku sengaja mengambil kursi yang berjejer dua di urutan paling belakang. Hanya ada seorang pemuda dengan tas besarnya, dua orang mahasiswi yang duduk di kursi paling depan dan asyik cekikikan, juga aku yang sedang sibuk mengamati mereka. Kelelahan semakin mendominasi tubuhku. Dan rasa kantuk dengan cepat menggerogotiku. Aku mulai terlelap dengan iringan musik yang setia bergema di telingaku.
Ketika aku terbangun, ternyata bis ini sudah mulai penuh sesak. Aku berusaha memejamkan mataku untuk kembali tidur. Tapi ternyata tak bisa. Suara keluh kesah penumpang lain silih berganti mengganggu pendengaranku. Aku memilih untuk memejamkan mataku dan menikmati lagu yang berdendang di headset ku.
“Boss, kalo ada bocah lain di luar jangan didengerin yah, kalem aja oke!” suara kenek bis yang mengalihkan perhatianku. Aku menengok kebelakang di mana suara itu berasal. Aku baru sadar ternyata dia sedang berbicara dengan anak-anak STM ini. Dan aku juga baru sadar bahwa bis ini penuh sesak oleh anak-anak STM.
“Nyelow boss!” jawab salah satu orang dari mereka.
“Si Acong mah boong bang, sekarang aja bilang nyelow, ntar mah pas ketemu pasti perang” sahut temannya.
“Diem lu kuya! Bacot banget, kayak lu engga aja” jawab dia yang dipanggil si Acong.
“Udah-udah, pokonya ente pada kalem aje yee, soalnya kemaren mobilnya Haji Karim kaca depan sama sampingnya ancur sama bocah-bocah di perempatan deket warung Ngkong Ali” jelas si kenek bis.
“Siap boss! Liat aja noh si Baim anteng gitu, haha…dia kan komandannya, kalo dia kalem begitu yang laen juga ngikut” jawab Kuya.
“Gue lagi pusing bro, males tempur ah!” timpal si Baim itu.
Aku memutuskan untuk menghentikan aksi nguping yang sedari tadi kulakukan. Untung saja di sebelahku duduk seorang mahasiswi, sehingga aku tidak terlalu berdekatan dengan anak-anak brandal itu. Kenapa aku memilih menjauhi mereka? Ya, tentu saja aku takut. Bukan karena mereka sering mengganggu wanita. Bukan. Sekali lagi aku tegaskan bukan karena kejahilan mereka. Aku sudah terlalu biasa untuk menghadapi kejahilan-kejahilan seperti itu. Bagiku kejahilan itu sudah seperti angin lalu. Jujur, yang jelas aku takut. Sungguh.
Bis yang kunaiki pun akhirnya melaju dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung lamban. Mengambil jalur 3 saat di jalan tol. Dan kembali liar saat di jalan protokol. Aku masih setia dengan headsetku hingga aku kembali terlelap.
Ketika aku terbangun, kulihat arloji di tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul 05.00 sore. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Sebagian besar penumpang telah turun meninggalkan bis. Termasuk mahasiswi yang ada di sebelahku. Dan saat ini anak-anak STM itu ribut mengenai kursi yang kosong di sebelahku ini.
“Si Baim aja suruh duduk, kasian, udah pucat gitu” kata Acong. Teman-temannya mengiyakan. Akhirnya lelaki yang bernama Baim itu duduk di sebelahku. Lalu bagaimana denganku? Jelas aku sangat takut. Sudah kukatakan tadi, aku takut.
Aku coba untuk menghibur diri. Menenangkan diriku sendiri. Aku kembali nguping pembicaraan anak-anak itu yang aku rasa, satu bis ini dapat mendengarnya pula.
“Cong, kemaren kan si Bredel baru aja ketangkep pas tempur sama bocah LB” cerita salah satu dari mereka.
“Masa’? Bodat betul. Sering banget dia ketangkep. Waktu lawan bocah DR juga kan ya?” timpal Acong.
“Emang. Mesti dibintal lagi kayaknya ntu orang. Payah banget” timpal yang lainnya.
“Menurut lu gimana Im?” tanya Acong pada Baim.
“Lu atur aja lah. Pusing gue” jawab pemilik nama Baim itu dengan lemah.
Aku melirik sekilas ke arah si Baim itu. Mukanya pucat. Bulir-bulir keringat pun keluar dari dahinya. Tapi aku tak berani memandangnya terlalu lama. Kenapa? Sudah kubilang aku takut.
Pemilik nama Baim itu sepertinya merasa jika aku sedang mengamatinya. Ralat! Memperhatikannya. Ia menoleh sekilas ke arahku lalu tersenyum. Bagaimana denganku? Seharusnya aku tersipu dengan wajah tampannya juga dengan garis aura kepemimpinan yang melekat pula di wajahnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku takut. Aku semakin kalut dengan ketakutanku.
Aku kembali dengan headsetku dan membesarkan volumenya. Persetan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mungkin bisa mendengarkan lagu yang terpasang di headsetku dengan keras ini. Setidaknya ada sebuah ketenangan yang kudapatkan dari lagu-lagu ini.
Tiba-tiba supir bis menginjak rem dengan mendadak. Aku mendengar kegaduhan. Tapi tidak begitu jelas karena tersaingi dengan sumber suara di headsetku. Aku berusaha melihat ke luar jendela. Sesuatu menutupiku. Aku tidak bisa melihat apapun. “Praaaang!...” kudengar jelas suara kaca pecah. Aku yakin pasti tidak jauh dariku. Pasti!. Atau mungkin kaca di sebelahku. Kucopot headsetku. Aku tidak bisa melihat apapun. Sesuatu atau lebih tepatnya seseorang menghalangiku untuk melakukan gerakan. Aku kini berada dalam posisi duduk merunduk. Aku hanya bisa diam menunggu. Aku bisa mendengar kegaduhan makin menjadi-jadi. Semua orang berteriak di sana-sini. Aku menangis. Aku menangis dalam kegelapan ini.
Aku berusaha kembali menguasai diriku. Berusaha menghentikan tangisku. Aku kini bisa mendengar keadaan di sekitarku  lebih baik. Masih dalam kegelapan ini. Sepertinya keadaan sudah mulai membaik. Tak ada kegaduhan. Hanya terdengar suara orang-orang yang saling menanyakan keadaan mereka. Aku makin bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sesuatu yang menutupiku mulai terbuka. “Maaf yaa maaf. Aku tadi panik. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu. Makanya aku tutup kamu pakai jaketku” jawab orang itu. Aku belum pulih benar dengan penglihatanku. Aku mengerjapkan mata. “Kamu gak pa-pa kan?” tanya orang itu kembali.
Penglihatanku sempurna. Dan orang itu…Baim!. Aku tak menjawab pertanyaanya. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanyaku. “Tadi ada tawuran” jawabnya singkat menjelaskan semuanya.
Mendengar hal itu aku limbung. Aku berpegangan ke bangku bis untuk memperoleh keseimbanganku kembali. Setelah benar-benar pulih aku memandang Baim. Lalu aku bergegas meninggalkan bis yang sudah separuh hancur itu. Tak ada sedikit pun ucapan terima kasih yang terlontar dari mulutku untuknya yang telah menyelamatkanku. Bukan karena aku tak tahu terima kasih. Sudah kubilang berulang kali, aku takut. Aku takut dengan anak STM.
Aku berpapasan dengan Acong saat keluar dari  bis. Mungkin ia masuk untuk mencari Baim. Kami saling berpandangan. Tapi buru-buru kutarik pandanganku. Sebelum meneruskan langkah, kutengok sekilas kebelakang. Aku melihat Baim yang sedang duduk limbung di kursi dan Acong yang mungkin sedang menanyakan keadaanya. Bisa kupastikan tak ada sedikit pun luka pada Baim ketika tadi aku berbincang dengannya. Namun mengapa Baim terlihat begitu lemah?.
Acong menyadari bahwa aku memperhatikan mereka. Ia melihat ke arahku yang masih terpaku di depan pintu bis. Aku kikuk. Segera ku ambil langkah seribu mencari angkutan lain yang menuju rumahku. Senja ini begitu melelahkan. Dan sekali lagi, aku takut.
***
Beberapa hari setelah senja kelam itu, aku satu bis dengan anak-anak brandal kembali. Ketakutan kembali menyergapku. Aku melakukan kebiasaanku menyetel headset untuk menghibur diri. Salah satu dari mereka duduk di sampingku. Ia mencoba mengajakku mengobrol.
“Kamu yang kemarin di tolongin Baim ya?” tanyanya.
Aku terperanjat mendengar nama itu disebut kembali. Kucoba perhatikan orang yang duduk di sebelahku ini. Acong ternyata. Meskipun begitu tetap saja rasa takut ini muncul ketika aku berdekatan dengan anak-anak macam mereka.
“Hei, aku ga salah orang kan?” tanyanya kembali.
Sudah kubilang aku takut. Maka untuk menghindarinya ku keluarkan buku catatan pelajaran sekolahku.
“Aurora Umbriell Atthaya” ujarnya.
Dia mengeja namaku. Ternyata trik menjauhi dengan membaca buku tidak terlalu baik untuk diterapkan. Sekarang ia malah mengetahui namaku.
Aurora, atau kupanggil saja Rara, meskipun aku ga tahu kamu biasa dipanggil apa, aku lihat sepertinya kamu terlalu takut untuk berhubungan dengan orang-orang sepertiku ini” ia menghentikan kalimatnya untuk memastikan apakah aku mendengarnya. Dan aku tetap merunduk, aku masih ditemani dengan ketakutanku.
“Jujur saja, aku sangat menyadari bahwa banyak orang yang tidak menyukai bedebah macam aku ini. Dan sebenarnya, aku juga tak pernah ambil pusing untuk masalah ini. Tapi kali ini, kamu tahu kan Baim? Dia itu bagian dari kami. Kami memang senang untuk kumpul-kumpul, tapi kegiatan kami itu positif” lanjutnya.
“Tawuran itu positif?” potongku terpancing opininya. Hancur sudah semua benteng pertahananku untuk tak berhubungan dengan bedebah ini.
“Untuk yang satu itu, memang tawuran itu bukan suatu hal yang positif. Tapi kelompok kami tak pernah menjadi pemicunya. Ah, sudahlah!. Takkan ada habisnya membahas masalah tawuran ini. Posisiku dengan kamu berada di dua kutub yang sama-sama kuat” ujarnya mengakhiri.
Kami diam. Aku memandang keluar jendela. Jalanan sangat ramai, tapi tak sempat menimbulkan kemacetan.
“Sebenarnya, yang aku ingin bicarakan dari tadi itu masalah Baim” ujarnya kembali memecah keheningan. Dan aku pura-pura tak menghiraukan meski sebenarnya aku penasaran.
“Baim sebenarnya ingin sekali berteman dengan kamu. Seharusnya dia sendiri yang bilang ini sama kamu. Tapi, kodisinya ga memungkinkan” ujarnya dengan raut kesedihan.
“Maksudmu?”
“Baim saat ini sedang sakit. Sudah dibawa ke dokter, tapi sekarang sudah kembali ke rumah. Belum jelas penyakit apa yang di deritanya. Ia cerita kepadaku bahwa ia ingin sekali berteman dengan gadis yang ia tolong saat tawuran itu. Baim tak pernah mendapat teman. Mungkin yang dilihat orang, Baim punya segudang teman yang berada di belakangnya. Tetapi sebenarnya ia kesepian. Baim menganggap teman-temannya kini hanya berteman dengan uangnya, mobilnya, ataupun ketampanannya. Tapi begitu melihat kamu, Baim bilang dia melihat ketulusan”.
“Oh” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku kaget disertai dengan rasa takut. Acong tersenyum mendengar tanggapanku yang terdengar sangat bodoh itu.
“Baim hanya ingin berteman denganmu. Itu saja” ujarnya.
Aku diam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dari awal sudah kujelaskan, bahwa aku t-a-k-u-t. Tiba-tiba Acong merampas buku catatan yang kupegang. Ia mengambil pulpen dari tasnya. Menuliskan sesuatu dengan cepat. Lalu mengembalikannnya lagi kepadaku. “Aku yakin kamu orang yang baik, sama seperti keyakinan Baim” ujarnya sambil bangun dari kursi lalu turun dari bis.
***
Sudah hampir tiga minggu setelah aku bertemu dengan Acong di sore itu. Dan sudah sering pula aku pulang satu bis dengan anak-anak STM. Tapi tak pernah kulihat Acong ataupun…Baim. Aku masih duduk sendiri di bis yang setiap hari membawaku pulang-pergi sekolah. Kubuka kembali buku catatanku yang sempat dituliskan sesuatu oleh Acong. Entah apa yang mendorongku melakukan hal ini. Yang jelas aku hanya mengikuti kata hatiku. Kubaca isinya. Sebuah alamat lengkap dengan nomor telepon selular.
Aku tidak terlalu yakin, tapi kucoba mengirimkan sms ke nomor tersebut. Ini Aurora. Lalu ku kirim ke nomor yang tertera. Tak berapa lama pemilik nomor itu meneleponku.
“Halo?”.
“Ini Acong, Ra. Akhirnya kamu menghubungiku juga. Aku kira kamu benar-benar ga peduli. Tapi ternyata dugaanku benar kan? Kamu orang yang baik. Sekarang kamu pasti masih di bis. Kamu tahu kan alamat yang aku tuliskan itu? Sekarang kamu sudah sampai mana? Nanti biar aku jemput” ujar suara di seberang telepon yang tak membiarkanku berbicara sesuatu.
“Aku di Harmoni” jawabku. Bodoh!. Apa yang baru saja kukatakan?. Memangnya aku mau kemana?. Aku sendiri tak mengerti maksud pembicaraan Acong.
“Oke, nanti aku tunggu di perempatan deket rel kereta api” ujarnya kembali. Sambungan telepon langsung diputus oleh Acong. Bahkan sebelum aku mengajukan interupsi.
***
Aku kini berada di halaman parkir sebuah rumah makan. Tak berapa lama, Acong terlihat keluar dari rumah makan tersebut sambil menenteng makanan yang dipesannya. Ia berjalan ke arahku. “Ayo cepat! Keburu sore” ujarnya. Aku sendiri masih bingung. Tapi Acong telah lebih dahulu menggiringku menuju mobilnya.
“Sebenarnya kita mau kemana sih?”
“Kamu tenang aja. Kamu aman kok. Aku ga akan macem-macem sama kamu. Kamu percaya kan dengan ku?”
Aku hanya diam menatap Acong. Mencoba mencari kebohongan di matanya yang sayangnya tak kudapatkan.
“Kamu udah di sini aja itu berarti kamu udah percaya kalo aku orang yang baik-baik kan?. Kalo kamu masih takut, anggaplah aku bukan anak STM. Anak-anak yang dicap brandal oleh masyarakat. Kan sekarang aku lagi ga pake seragam” ujarnya dengan nada bercanda.
Aku hanya tersenyum sopan. Sesuai dengan ajaran ketimuran yang diajarkan ibuku.
“Sebenarnya ada masalah apa sih kamu sama anak-anak seperti aku?” tanya Acong dengan penasaran.
Aku menggeleng. Belum terkumpul semua nyaliku untuk berbicara banyak dengannya. Dengan orang yang macam aku takuti.
“Ya sudah kalo kamu ga mau cerita, kita udah sampai. Tolong bawain makanannya yah” minta Acong.
Kami turun dari mobil. Setelah melewati pelataran parkir mobil, kami tiba di depan pintu. Aku menghentikan langkahku.
“Kenapa? Ada yang tertinggal di mobil?” tanya Acong yang bingung dengan sikapku.
“Kenapa kita kesini?”.
“Nanti juga kamu tahu. Udah ayo masuk”.
Aku membuntuti Acong sepanjang selasar ini. Berbelok ke kanan ketika mencapai ujung selasar utama, lalu berbelok ke kanan kembali untuk mencapai selasar selanjutnya. Kini aku berada di depan sebuah pintu bertuliskan Kamar 201.
“Nah, kita sudah sampai?” ujar Acong.
Aku tetap mematung. Akupun mulai limbung. Pusing seketika menguasai tubuhku. Pandanganku kunang-kunang. Perutku terasa mual. Dadaku berdesir kencang. Aku panik. Mungkin saja wajahku mulai terlihat pucat. Dan mungkin saja bulir-bulir keringat dingin telah membasahi wajahku. Aku takut. Aku sangat amat takut.
“Hei Ra, kamu kenapa?” tanya Acong yang mulai panik ketika melihat wajahku pucat seketika.
“A…aku…aku takut. Sungguh!”
“Apa yang kamu takuti?” Acong semakin bingung. Aku tak bisa  menceritakan apapun. Aku sungguh takut.
“Kamu harus jelasin kenapa kita di sini?”.
“Iya, nanti aku jelasin, tapi kamu masuk dulu yah”.
“Ga bisa kamu harus jelasin sekarang di sini. Sekarang!”.
“Kamu akan mendapatkan penjelasan secara gamblang ketika kamu masuk. Ayo masuk dulu. Makanan yang kamu pegang itu sedang ditunggu-tunggu oleh seseorang” jelas Acong.
Akhirnya aku mengalah. Kami pun masuk. Seorang wanita cantik memandang ke arahku ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia melemparkan senyuman. Aku masih dengan ketakutanku. Namun naluri ketimuranku menyuruhku membalas senyumannya.
“Jadi ini yang namanya Aurora? Cantik!. Lebih cantik dari apa yang tante bayangkan selama ini” ujar wanita itu.
Ia tahu namaku? Siapa dia? Aku melirik ke arah Acong. Kurasa ia mengerti kebingunganku.
“Ra, itu makanannya jangan dipegangin aja, kasih tante dulu itu kasihan udah nungguin dari tadi” ujar Acong yang makin menambah kebingunganku.
“Oh iya tante. Maaf, saya lupa” ujarku yang sebenarnya masih dilanda kebingungan.
Wanita itu hanya melemparkan senyum ramahnya nan cantik jelita. Tapi itu semua tak bisa mengalihkan perhatianku terhadap selang-selang dan tabung oksigen yang berada di sudut ruangan. Aku tak kuasa menahan rasa penasaran. Dan kurasa Acong pun masih tak bersedia menjelaskan semuanya.
“Maaf tante, maaf sebelumnya jika saya lancang. Tapi sejujurnya saya merasa teramat bingung dengan situasi ini. Sebenarnya tante ini siapa? Dan mengapa tante bisa mengenali saya? Siapa pula orang yang berada di atas ranjang itu? Juga untuk apa saya berada di sini?” tanyaku berturut-turut.
Wanita itu kembali melemparkan senyum. Aku pasrah. Ralat! Putus asa.
“Maaf ya cantik, kamu jadi kebingungan seperti ini. Sini duduk dulu, biar tante jelaskan” ujar wanita itu.
Aku duduk di sebelahnya untuk mencari sebuah jawaban.
“Jadi, Acong ini sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri. Ia juga bersahabat dengan anak tante. Anak tante itu yang sedang berada di atas ranjang itu” wanita itu menghentikan kalimatnya sesaat.
“Tante bisa mengenal kamu lewat cerita-cerita yang sempat diceritakan oleh anak tante itu…”
“Anak tante?” potongku.
“Baim”
Aku tak merespons apapun ketika nama itu disebut. Ketakutan kembali menguasaiku. Perutku kembali terasa mual, dadaku berdesir sangat kencang. Aku membatin, Tuhan, aku ingin segera sampai rumah. Secepatnya.
Acong melihat ekspresiku itu. Ia merasa khawatir akan perubahan air mukaku.
“Ra, kayaknya sudah terlalu sore, sebentar lagi malam, aku antar kamu pulang sekarang ya. Ga baik gadis pulang malam-malam” ujarnya.
“Oh iya benar, sudah terlalu sore. Kapan-kapan kalau ada waktu kamu main lagi ya ke sini, tante akan sangat senang jika kamu datang kembali. Hati-hati ya di jalan. Terimakasih kamu sudah menyempatkan kesini”
“Saya pamit dulu tante” aku berbasa-basi.
Dengan segera kutinggalkan kamar itu. Aku segera berjalan kembali menyusuri selasar rumah sakit. Acong hanya mengekor di belakang. Setibanya di parkiran mobil, Acong langsung membukakan pintu. Akupun masuk. Tak ada pembicaraan. Hanya suara hati.
Ada apa sih dengan kamu?” tanya Acong tiba-tiba.
Aku hanya melemparkan pandangan bingungku atas pertanyaan Acong. Ragaku atau mungkin lebih tepatnya jiwaku terasa letih sekali. Acong sepertinya mengerti keletihanku. Ia kembali fokus pada mobil yang sedang dikemudikannya. Kami sibuk dengan alam pikiran masing-masing. Jalanan tidak terlalu macet. Mungkin karena sudah lewat jam pulang kantor. Tiba-tiba mobil yang kunaiki ini berhenti.
“Kenapa?” tanyaku refleks.
“Kamu belum makan kan? Aku juga. Hehe, kita makan dulu yah. Nanti aku antar sampai ke rumah deh, janji!” ujar Acong.
Aku hanya mengangguk tanda setuju. Tubuh ini memang terlanjur lelah untuk hari ini.
***
Beragam spekulasi semakin berkembang dalam benakku. Ketakutan semakin menghantui setiap langkahku. Aku terdiam mematung. “Kamu masih ga mau cerita?” suara itu membuyarkan lamunanku.
“Bukan aku ga mau. Mungkin aku ga sanggup”
“Kenapa?”
Air mata terasa hangat mengalir dari pelupuk mata. Untuk yang kesekian kalinya ku katakan bahwa aku takut. Acong hanya bingung sekaligus kasihan melihatku. “Aku melihat ketakutan yang besar dari matamu, tapi bagaimana bisa aku membantumu? Sementara aku sendiri tak tahu apa yang menyebabkan ketakutanmu itu”.
Aku kembali dapat menguasai diriku. Namun aku tetap bungkam. “Baiklah kalau kamu ga mau cerita. Sekarang makan dulu, lalu akan segera kuantar pulang. Ketika kamu butuh seseorang untuk menjadi pendengar dan ketika kamu telah benar-benar siap untuk bercerita, maka hubungilah aku” jelas Acong.
***
Ini sudah bulan kedua sejak pertama kali aku bertemu tante Maya. Dan hampir setiap hari aku tidak pernah absen untuk menemani tante Maya di rumah sakit. Meski sebenarnya selalu ada Acong yang setiap saat ada di sana. Aku selalu berpikir, wanita selalu mengerti setiap perasaan wanita lainnya. Entah apa yang menggerakkan hatiku untuk mengenal lebih dekat keluarga itu. Yang jelas, aku merasa di sana kehadiranku memang dibutuhkan. Dan aku nyaman dengan hal itu.
“Tante tinggal ke kantin dulu ya” ujar tante Maya masih di kamar bernomor 201.
“Oke tante” jawab Acong. Aku hanya mengulum senyum. Perhatianku kembali terpusat kepada Baim. Sudah dua bulan. Dan tak ada perkembangan yang berarti. Bahkan mungkin ketika semua peralatan medis yang menempel pada tubuhnya di copot, maka ia akan pergi meninggalkan tante Maya sendiri.
“Im, kamu ga bosen apa tidur terus setiap hari? Nanti kamu jadi obesitas loh, ga olahraga sama sekali, hehe” candaku mencairkan suasana.
Acong melihat ke arahku. Namun aku berpura-pura tak menyadarinya dan kembali bergurau.
“Baiiim, banguuun! Aku tuh sebal sama kamu. Aku mau marah-marah sama kamu. Aku sangat amat mengenal mama kamu. Padahal aku sendiri ga tahu kamu itu siapa” ujarku.
Kulihat Acong. Ia mengeluarkan airmata. “Tau nih, katanya mau kenalan sama Rara, ini udah gue bawa orangnya tapi lu malah keenakan tidur. Bangun kebooo!” candanya sambil menahan tangis.
Ku tepuk pundak Acong “Sabar ya, terus berdoa”. Acong hanya tersenyum. Kami kembali membungkam. Acong pun buka suara.
“Ra, kamu hutang cerita loh sama aku”
“Cerita? Tentang apa?”
“Ketakutanmu itu”
“Ooh, emang aku pernah janji bakal cerita ke kamu?”
“Ya, engga sih, hehe. Kalo kamu ga mau cerita juga ga apa-apa”
Aku berpikir sejenak. Lalu aku memutuskan untuk menceritakannya saja. Mungkin sudah saatnya aku membagikan rasa takut tak beralasanku selama ini kepada orang-orang di sekelilingku.
“Ceritanya panjang looh, kalo di bikin point bisa dari a sampai z”
“No problem! Baim juga pasti setuju, ya kan Im?” tanya Acong melirik ke arah Baim.
Kami berdua menarik kursi ke dekat Baim. Kami berpikir bahwa Baim akan mendengarnya pula.
“Ketakutanku ini bermula ketika aku berhadapan dengan anak-anak macam kalian ini di jalan. Dahulu aku sering banget di jahilin oleh anak-anak model STM atau semacamnya”
“Cuma gara-gara kayak gitu?” potong Acong.
“Ya engga lah, singkatnya aku punya seorang kakak cowo. Aku panggil dia abang.  Dia seorang kakak yang benar-benar sayang dengan tulus ke adiknya yang cuma satu-satunya ini. Dan dia seorang anak STM”
“Kalo Abang mu anak STM kok kamu malah takut sama anak STM?” potong Acong lagi.
“Iih, kebisasaan deh, dengerin dulu makanya. Jadi dulu abangku itu sering tawuran kayak kalian juga. Berprinsip sama seperti kalian juga kalau perang, bukan sebagai pemicu. Dahulu aku pikir abangku itu seorang jagoan. Selalu menang setiap kali bertengkar. Selalu bisa melindungi aku di manapun. Selalu membelaku setiap berhadapan dengan siapapun. Bahkan disegani oleh kebanyakan orang. Mungkin ia sosok yang keras di luar. Tetapi ia tetap bersikap lembut padaku. Pada adik satu-satunya ini yang terlalu polos dan bodoh untuk menyadari sikap abangnya yang sebenarnya bertolak belakang dengan norma masyarakat”
“Dahulu, ketika aku masih sekolah dasar, dan ketika aku bertengkar dengan temanku, aku pasti cerita ke abangku sambil berurai airmata. Abang selalu membelaku di depan teman-temanku. Sampai tak ada lagi yang berani menggangguku. Sekalipun abang mengalami memar di sekujur tubuhnya dan terkena marah oleh ayah dan bunda karena dianggap sok jagoan, aku masih dengan polosnya menganggap bahwa abang adalah pahlawanku”
“Aku merasa bahwa abang adalah milikku. Tak satupun boleh menarik perhatian abangku melebihi perhatian yang ia berikan kepadaku. Hingga suatu hari, abangku berencana untuk menemani pacarnya membeli kado untuk mamanya. Di saat yang sama, aku meminta abangku untuk menemaniku pergi membeli boneka barbie seri terbaru yang baru saja di rilis. Abangku menolak dengan halus. Seketika itu juga aku merasa bahwa abangku tak lagi menyangiku. Aku berpikir bahwa duniaku runtuh saat itu. Karena tak ada lagi orang yang bersedia menyangiku setulus abangku. Ia tak lagi seperti abangku yang selama ini ku kenal. Abangku yang selalu memenuhi semua keinginanku mulai dari a sampai z. Dan ketika kini aku mengingat kembali hal itu, aku merasa sangat amat menyesal”
“Menyesal? Kenapa?”
“Karena…karena saat ini ia benar-benar pergi dari kehidupanku. Bahkan sebelum aku sempat mengucapkan maaf dan terimakasih kepadanya”
“Maksudmu?”
“Ketika abang menolak menemaniku untuk membeli boneka aku menangis sejadi-jadinya. Aku sangat amat kecewa. Aku memakinya dengan ucapan-ucapan yang mungkin seharusnya menyakiti hatinya. Mungkin saat itu kata-kata yang terlontar dari mulutku terdengar seperti kata-kata orang yang tak tahu terimakasih. Memang. Karena dahulu aku tak pernah mengerti telah berapa besar pengorbanan abangku untuk membelaku selama itu”
“Bukannya marah padaku karena telah kumaki-maki, abang malah membelai lembut rambutku, memelukku hingga aku tenang dan berhenti menangis. Lalu ia membatalkan acara pergi dengan pacarnya hanya untuk menemaniku”
“Lalu?”
“Kebodohanku berlanjut. Awalnya abang hendak mengantarku menggunakan mobil Ayah. Namun aku merengek minta naik bis karena aku belum pernah naik bis. Abang hanya tertawa melihat tingkahku. Dan abangku yang baik itu mengabulkan permintaanku. Ia hanya bergurau Orang-orang tuh maunya di antar pake mobil pribadi, eh kamu malah pingin naik bis.”
“Aku merasa sangat amat senang saat itu. Kami naik dari halte terdekat. Saat itu aku tak mengerti bis jurusan mana yang harusnya ku naiki. Kebodohanku kian menjadi-jadi. Aku ga mau naik mobil bis yang bagus bertuliskan AC-Ekonomi. Aku hanya mau naik bis bobrok tak layak pakai. Karena aku pikir di situlah sensasinya. Kalau naik mobil AC sama aja seperti mobil Ayah-pikirku. Abang semakin geli melihat tingkah adiknya ini ia mengabulkan kembali kemauan adiknya”.
“Tiba-tiba rem mobil bis berdecit kencang. Aku terlonjak. Abang berusaha melindungiku. Suara kegaduhan terdengar semakin lama semakin kencang. Semua orang berteriak-teriak. Aku melihat segerombolan orang menaiki bis dengan membawa tongkat kayu. Seketika itu juga aku panik. Aku tak mengerti mengapa mereka melakukan itu. Semua penumpang di perintah untuk turun dari bis. Abang berusaha melawan orang-orang itu yang membuat aku takut. Mereka malah memukuli abang. Aku menangis sejadi-jadinya. Abangku melihat kearahku Lari! Cepat lari! Cepat keluar dari bis ini lalu pergi membeli bonekamu. Abang akan segera menyusul. Jangan menangis! Tunggu abang di luar bis ini. Cepat lari.”
“Aku menurut. Aku lari keluar bis sambil menangis. Segera kuhapus airmataku seperti pinta abang untuk tidak menangis. Aku menunggu dan terus menunggu di sudut jalan. Tapi abang tak kunjung terlihat. Aku hampir menangis karena ketakutan. Aku masih setia menunggu dan terus menunggu. Abang tak juga kembali. Pada akhirnya aku kembali menangis. Aku berlari kecil kembali ke tempat di mana aku turun bis. Aku mengingkari janji ku pada abang untuk menunggu. Aku sudah terlanjur takut. Ketika aku mendekati bis, aku melihat kerumunan orang di pinggir jalan. Aku berlari sekencang mungkin dengan kaki kecilku saat itu. Aku berusaha menorobos kerumunan orang-orang dewasa itu, dan… dan kulihat…”
“Memangnya kamu lihat apa?” tanya Acong.
“Kulihat…” Airmata mulai keluar dari pelupuk mataku. Aku tak bisa melanjutkan kalimatku untuk menceritakan kepada Acong dan Baim.
“Abangmu?” jawab Acong
Aku hanya mengangguk pelan. Aku menangis. Aku menghambur ke dalam pelukkan Acong. Acong membelai rambutku dengan halus. “sudahlah, tidak perlu kamu lanjutkan lagi” ujarnya.
Aku menggeleng keras. Aku tetap ingin melanjutkan ceritaku hingga benar-benar selesai. “Baiklah kalau kamu memang merasa mampu untuk menceritakannya” ujar Acong.
“Yang aku lihat adalah tubuh abang yang bersimbah darah dimana-mana. Lebam dan tidak sadarkan diri. Aku yang cuma seorang bocah kecil tak mengerti harus berbuat apa. Orang-orang di sekitar saat itu membawa abang beserta diriku ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, abang langsung masuk UGD. Kebodohanku kian berlanjut. Ketika seorang suster menghampiriku dan menanyakan nomor telepon orang tuaku aku hanya bisa menggeleng tak tahu. Untung saja masih ada kartu identitas dari dompet abangku”
“Sekarang abang mu seharusnya sudah bekerja bukan? Kerja di mana?” tanya Acong.
“Setelah kejadian itu, abang tidak kunjung sembuh. Bahkan ia…koma. Ia tak sadarkan diri selama hampir empat bulan. Ayah dan bunda tak pernah mengizinkan pihak rumah sakit mencabut semua alat-alat yang dapat memperpanjang hidup abang. Sekalipun ayah dan bunda tahu bahwa tak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi mereka menginginkan semua berjalan secara alami. Meskipun untuk hal yang terburuk.”
“Di bulan keempat abang koma, aku membeli boneka yang saat itu membuatku memaksa abang untuk mengantarku. Aku ke rumah sakit untuk memamerkan bonekaku. Aku bilang pada abang aku sudah membeli boneka yang aku inginkan. Seketika itu juga kamar rawat abang hening. Tak ada lagi suara dari mesin kecil seperti televisi berbunyi. Aku bingung. Kukira abang sudah sembuh. Aku panggil dokter. Dan yang membuatku bingung saat itu adalah raut wajah semua orang panik. Dokter dan suster segera menguasai ranjang abang. Aku menyingkir dan bersandar di pojok ruangan. Bunda baru saja datang dari kantin dan bingung melihat apa yang terjadi. Dokter menoleh ke arah bunda dan menggeleng. Seketika itu juga bunda menjerit memanggil nama abang. Aku masih tak mengerti. Hingga seorang suster mengantarku melihat abang di ranjangnya. Aku bertanya pada suster itu kenapa sih sus? Dan suster itu menjawab abangmu pergi ke surga.”
“Saat itu, duniaku terasa runtuh. Benar-benar hancur. Abang benar-benar pergi meninggalkan keluargaku, meninggalkan aku. Takkan ada lagi sosok yang akan membelaku sama seperti abang membelaku. Tak akan ada lagi tempat untuk aku berkeluh kesah semauku seperti ketika abang dengan setia mendengarkan keluhanku. Bahkan takkan ada lagi yang akan menyanyangi dan mencintaiku dengan segenap jiwa dan raganya seperti yang abang berikan padaku. Aku kehilangan orang yang benar-benar penting dalam kehidupanku. Abangku, kakak lelaki kandungku.”
“Maaf ya, aku ga bermaksud membuatmu sedih kembali” ujar Acong.
“Sejak kepergian abang, aku benar-benar merasa sangat amat menyesal dengan semua sikap kepolosanku. Sejak kepergian abang, aku berusaha menjadi wanita yang mandiri dan dewasa seperti impian abang. Aku menyesali karena aku tak sempat mengucapkan maaf padanya atas kejadian itu. Seandainya saja takdir bisa di ubah, aku lebih memilih untuk berda di posisi abang. Abang orang baik. Dan aku tak sempat berterima kasih kepadanya.”
“Abangmu pasti tahu betapa kamu menghormati dirinya. Abangmu juga pasti tahu beribu ucapan maaf yang di sampaikanmu untuknya. Dan aku yakin tak ada penyesalan dari diri abangmu akan semua hal yang terjadi. Abangmu memberikan alasan terbaik agar kamu bisa mengenangnya. Hidup terus berjalan. Tak pernah berhenti sedetikpun. Dan kamu harus melewatinya. Bukan dengan keterpurukkan.” Acong mencoba menghibur.
“Ya, dan belakangan setelah kepergian abang, aku baru tahu bahwa yang membuat abang pergi untuk selamanya adalah anak-anak STM yang mengenali abang sebagai musuh bebuyutannya saat di bis itu. Maka sejak saat itu aku selalu takut dengan anak STM. Ketika aku bertemu kalian, bayangan peristiwa mengenaskan itu muncul  kembali.”
“Kamu tenang aja, kita akan baik-baik saja kok. Betul kan Im?” tanya Acong pada tubuh Baim yang masih tetap tak sadarkan diri di ranjang.
Aku tak berkomentar. Lalu kami membungkam. Sibuk dengan alam pikiran masing-masing. Keheningan menyeruak. Aku merasa ada yang janggal dari keheningan ini. Benar saja, Acong panik berteriak memanggil suster. Alat rekam detak jantung Baim tak berfungsi. Aku gemetar. Aku menangis ketakutan. Acong melihat kearahku, namun ia terlalu panik untuk segera mengetahui kondisi Baim dan tak menggubris keadaanku. Aku menyingkir ke sofa. Dokter segera datang. Lalu di susul tante Maya. Tante Maya menangis histeris. Namun suster melarangnya untuk mendekati putra tunggalnya itu. Aku memeluk tante Maya. Kami menangis dalam pengharapan. Acong terus berada di samping ranjang. Sampai tiba saatnya dokter memberitahukan kondisi Baim yang sudah tak tertolong lagi. Tante Maya melepaskan pelukkanku dan menghambur ke jasad putranya. Aku semakin menangis. Acong menghampiriku dan memelukku. Berusaha menenangkankku.
“Ketakutanku… ketakutanku… semua itu… benar terjadi” isak ku dalam pelukkan Acong.
“Sudahlah, ini semua takdir tuhan. Mungkin Baim memang menunggu ceritamu. Mungkin selama ini dia bertahan hanya untuk mengetahui mengapa kamu begitu takut dengannya. Sama seperti ketika abangmu menunggumu hingga benar-benar membeli boneka yang kamu mau. Ketika semuanya telah terwujud, merekaabangmu juga Baim, menganggap bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk meninggalkanmu. Mereka tenang ketika meninggalkanmu. Mereka terlalu takut untuk meninggalkanmu dalam keadaan kalut. Mereka sangat menyangimu. Mereka amat melindungimu. Kamu adalah dunia bagi mereka. Dan aku juga memiliki rasa yang sama seperti mereka. Kami semua sayang padamu. Jadi, jangan pernah merasa sendirian di dunia ini.” ujar Acong menenangkanku.
***
Beberapa bulan setelah kepergian Baim, aku masih tetap berhubungan baik dengan tante Maya. Bahkan kami bertigaaku, Acong, dan tante Maya sering berlibur bersama. Kepergian orang-orang yang aku sayangi itu memberi pelajaran yang sangat berarti buatku. Aku menyadari suatu hal. Ketika semua orang cenderung mengira dunia akan tamat jika kehidupan kita berakhir. Yang sesungguhnya terjadi adalah kenalan-kenalan kita, teman-teman kita, dan orang-orang yang kita cintai tetap melanjutkan kehidupan mereka. Dan melalui mereka pula kita tetap hidup. Ini bukan tentang penampilan, namun ini bagaimana kita menjalani kehidupan. Dan ini juga bukan tentang menetapkan kenangan, namun ini tentang memberikan alasan terbaik bagi orang-orang untuk mengenang diri kita.

2 komentar:

  1. keren nih, semoga dikemudian hari menjadi penulis sukses dan menginspirasi yah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. amiiiiin... thankyouuu :) saling sharing dan saling belajar yah, sering-sering mampir :)

      Hapus