Cukuplah hari ini begitu melelahkan
bagi ku. Namun sepertinya kota
ini takkan pernah lelah memanjakan penduduknya. Bahkan semakin malam, semakin
meriah saja sambutannya. Maka aku pun memutuskan untuk memanjakan diri dengan kota ini malam ini.
Aku
memilih duduk di sebuah warung siomay kaki lima di emperan taman. Ternyata warung
tersebut penuh dengan penikmat setianya. Maka dengan sabar aku menunggu
pengunjung hingga salah satu dari mereka selesai makan. Dalam penantianku
sempat terlintas dalam benakku apa yang akan terjadi jika para pedagang kaki lima ini tidak
diperbolehkan berjualan? Apa yang akan terjadi dengan istri dan anaknya di
rumah? Lalu bagaimana para penduduk kota
ini mendapatkan sedikit penghiburan di tengah segala macam persoalan yang
menghimpit mereka. Ah… kota !.
Tak
lama seorang pasangan muda-mudi mempersilakanku duduk. Mereka telah selesai
rupanya. Maka akupun langsung duduk menempati kursi tersebut. Aku memesan
sepiring siomay dan segelas teh hangat. Sambil menunggu pesanan ku datang, aku
memperhatikan orang-orang yang berada di hadapanku. Sepertinya mereka adalah
seorang paman dengan dua keponakannya. Mereka terlihat sangat akrab dan saling
menggumamkan lelucon. Sesekali bahkan aku tak bisa menahan senyumku saat
mendengarkan lelucon mereka.
Siomay
pesananku datang. Sebenarnya aku tidak lapar. Maka dari itu, aku makan dengan
sangat perlahan. Lalu perhatianku beralih pada seseorang di warung soto yang
berada di sebelah warung siomay ini. Si bapak ini sedang bercerita mengenai
kehidupannya kepada kedua tukang soto. Tanpa sekat antar warung, maka akupun
dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. “dahulu, ketika tahun ’98 saya
mempunyai sebuah usaha hingga saya benar-benar sukses. Saya mempunyai dua buah
mobil Vios, sebuah BMW, hingga saya punya tiga ekor kuda. Saat itu laba
perusahaan saya hingga bermilyar-milyar. Namun sepuluh tahun kemudian, tepatnya
tahun 2008 saya mengalami kebangkrutan…” ujar si bapak tersebut. Salah satu
tukang soto sangat berminat mendengarkan ceritanya, sedangkan tukang soto yang
lainnya terlihat tidak berminat untuk mendengarkan dan meninggalkan temannya
dan bapak itu melanjutkan ceritanya. Begitupun aku, aku tak berminat
mendengarkan ceritanya karena hal itu terlalu klise bagiku.
Aku
kembali memasukan sesuap siomay ke dalam mulutku. Lalu perhatianku teralih
kepada sebuah keluarga muda yang berada di sebelah kanan ku. Mereka terlihat
harmonis dan hangat. Sepasang orang tua muda dengan kedua anaknya. Si sulung
mungkin baru kelas dua sekolah dasar, dan si bungsu baru memasuki taman
kanak-kanak. Mereka harmonis di tengah para politikus-politikus yang saling
tuduh yang merupakan salah satu kekejaman kota .
Masih
dengan siomay ku yang tinggal separuh, suara si bapak yang berada di tukang
soto kembali menarik perhatianku. “dulu saya tinggal di perumahan elit yang ada
di seberang taman ini. Namun anak saya mempunyai alergi debu hingga harus
dioperasi. Dan saya telah menghabiskan dana hingga 13 juta untuk biaya
operasi…”tutur bapak itu. Si tukang soto nampak makin bergairah mendengar
cerita tersebut. Sedangkan tukang soto lainnya mulai nampak mencibir dari balik
gerobaknya. Dan aku justru tersenyum mendengar mereka. Kejamnya kota . Segala kesulitan
yang ada membuat penduduknya lebih pandai untuk berkhayal. Ketika aku kembali
memasukan siomay ke dalam mulutku ternyata salah seorang keponakan dari paman
yang ada di hadapanku tersenyum melihatku. Aku rasa aku mengerti dengan
senyuman itu. Senyuman untuk semua cerita si bapak yang berada di tukang
siomay.
Lalu aku terus
mengikuti cerita si bapak itu. “salah
satu mertua saya telah meninggal. Beliau adalah seorang habib. Beliau meninggal
ketika sedang memimpin jemaah shalat dzuhur. Beliau wafat dalam keadaan sujud.
Ketika dibangunkan oleh salah satu jamaah, beliau telah tiada...”, ucap si
bapak itu. Si tukang soto semakin terbawa dengan ceritanya. Ia berucap
‘subhanallah..”. Namun entah mengapa sulit bagiku untuk mempercayai cerita
tersebut. Yang terjadi justru senyumku semakin mengembang mendengar cerita
tersebut.
Aku
sampai pada suapan terakhir siomay ku. Pemuda yang ada dihadapanku telah
bersiap meninggalkan mejanya. Ia menulis sesuatu pada selembar tissu dan
memberikannya padaku. Lalu ia segera meninggalkan warung siomay ini. Aku
membaca pesan dalam tissu itu inilah
kekejaman kota
yang sesungguhnya :-) . Maka senyumku pun semakin
melebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar