KESET

KESET! a.k.a Welcome, haha selamat datang, selamat baca-baca, selamat menikmati, selamat komen, selamat kritik, :)

Senin, 26 Maret 2012

Sepiring Siomay

Cukuplah hari ini begitu melelahkan bagi ku. Namun sepertinya kota ini takkan pernah lelah memanjakan penduduknya. Bahkan semakin malam, semakin meriah saja sambutannya. Maka aku pun memutuskan untuk memanjakan diri dengan kota ini malam ini.
    Aku memilih duduk di sebuah warung siomay kaki lima di emperan taman. Ternyata warung tersebut penuh dengan penikmat setianya. Maka dengan sabar aku menunggu pengunjung hingga salah satu dari mereka selesai makan. Dalam penantianku sempat terlintas dalam benakku apa yang akan terjadi jika para pedagang kaki lima ini tidak diperbolehkan berjualan? Apa yang akan terjadi dengan istri dan anaknya di rumah? Lalu bagaimana para penduduk kota ini mendapatkan sedikit penghiburan di tengah segala macam persoalan yang menghimpit mereka. Ah… kota!.
    Tak lama seorang pasangan muda-mudi mempersilakanku duduk. Mereka telah selesai rupanya. Maka akupun langsung duduk menempati kursi tersebut. Aku memesan sepiring siomay dan segelas teh hangat. Sambil menunggu pesanan ku datang, aku memperhatikan orang-orang yang berada di hadapanku. Sepertinya mereka adalah seorang paman dengan dua keponakannya. Mereka terlihat sangat akrab dan saling menggumamkan lelucon. Sesekali bahkan aku tak bisa menahan senyumku saat mendengarkan lelucon mereka.
    Siomay pesananku datang. Sebenarnya aku tidak lapar. Maka dari itu, aku makan dengan sangat perlahan. Lalu perhatianku beralih pada seseorang di warung soto yang berada di sebelah warung siomay ini. Si bapak ini sedang bercerita mengenai kehidupannya kepada kedua tukang soto. Tanpa sekat antar warung, maka akupun dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. “dahulu, ketika tahun ’98 saya mempunyai sebuah usaha hingga saya benar-benar sukses. Saya mempunyai dua buah mobil Vios, sebuah BMW, hingga saya punya tiga ekor kuda. Saat itu laba perusahaan saya hingga bermilyar-milyar. Namun sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2008 saya mengalami kebangkrutan…” ujar si bapak tersebut. Salah satu tukang soto sangat berminat mendengarkan ceritanya, sedangkan tukang soto yang lainnya terlihat tidak berminat untuk mendengarkan dan meninggalkan temannya dan bapak itu melanjutkan ceritanya. Begitupun aku, aku tak berminat mendengarkan ceritanya karena hal itu terlalu klise bagiku.
    Aku kembali memasukan sesuap siomay ke dalam mulutku. Lalu perhatianku teralih kepada sebuah keluarga muda yang berada di sebelah kanan ku. Mereka terlihat harmonis dan hangat. Sepasang orang tua muda dengan kedua anaknya. Si sulung mungkin baru kelas dua sekolah dasar, dan si bungsu baru memasuki taman kanak-kanak. Mereka harmonis di tengah para politikus-politikus yang saling tuduh yang merupakan salah satu kekejaman kota.
    Masih dengan siomay ku yang tinggal separuh, suara si bapak yang berada di tukang soto kembali menarik perhatianku. “dulu saya tinggal di perumahan elit yang ada di seberang taman ini. Namun anak saya mempunyai alergi debu hingga harus dioperasi. Dan saya telah menghabiskan dana hingga 13 juta untuk biaya operasi…”tutur bapak itu. Si tukang soto nampak makin bergairah mendengar cerita tersebut. Sedangkan tukang soto lainnya mulai nampak mencibir dari balik gerobaknya. Dan aku justru tersenyum mendengar mereka. Kejamnya kota. Segala kesulitan yang ada membuat penduduknya lebih pandai untuk berkhayal. Ketika aku kembali memasukan siomay ke dalam mulutku ternyata salah seorang keponakan dari paman yang ada di hadapanku tersenyum melihatku. Aku rasa aku mengerti dengan senyuman itu. Senyuman untuk semua cerita si bapak yang berada di tukang siomay.
     Lalu aku terus mengikuti cerita si bapak itu. “salah satu mertua saya telah meninggal. Beliau adalah seorang habib. Beliau meninggal ketika sedang memimpin jemaah shalat dzuhur. Beliau wafat dalam keadaan sujud. Ketika dibangunkan oleh salah satu jamaah, beliau telah tiada...”, ucap si bapak itu. Si tukang soto semakin terbawa dengan ceritanya. Ia berucap ‘subhanallah..”. Namun entah mengapa sulit bagiku untuk mempercayai cerita tersebut. Yang terjadi justru senyumku semakin mengembang mendengar cerita tersebut.
      Aku sampai pada suapan terakhir siomay ku. Pemuda yang ada dihadapanku telah bersiap meninggalkan mejanya. Ia menulis sesuatu pada selembar tissu dan memberikannya padaku. Lalu ia segera meninggalkan warung siomay ini. Aku membaca pesan dalam tissu itu inilah kekejaman kota yang sesungguhnya :-) . Maka senyumku pun semakin melebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar